BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Setelah menunggu selama 34 tahun sejak
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) menjanjikan adanya undang-undang tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan Dengan Tanah, telah disahkan pada tanggal 9 April 1996. Kependekan
resmi dari nama “Undang-undang Hak Tanggungan” disingkat UUHT. Dengan telah
diundangkannya Undang-undang Hak Tanggungan tersebut, terwujudlah sudah
unifikasi hukum tanah nasional.[1]
Perwujudan adanya unifikasi hukum,
khususnya hukum pertanahan di Indonesia, seharusnya dapat menjadi indikator
untuk mereduksi kesenjangan antara Das
sollen dan Das sein. Acapkali,
apa yang seharusnya (Das sollen) dan
apa yang dicapai (Das sein)
berbanding terbalik.
Di dalam makalah ini, penulis ingin
menganalisis putusan mengenai Hak Tanggungan, yaitu Putusan PN Bandung Nomor 275/PDT.G/2002/PN.BDG.[2]
Berikut adalah para pihak di dalam perkara tersebut, yakni : Siti Wahyu
Widayati sebagai Penggugat dan para Tergugat dalam perkara ini, yaitu Kantor
Lelang Negara KL. I A Bandung, (Tergugat I), Indover Asia Limited Hongkong cq.
Indover Bank Representative Office Indonesia, (Tergugat II), Dimas Putranto
(Tergugat III), Pemerintah RI cq. Kepala BPN cq. Kepala Kanwil BPN provinsi
Jawa Barat cq. Kepala kantor BPN Kabupaten Bandung (Tergugat IV), Arno Suwarno
(Tergugat V.1), Ato Suwanto (Tergugat V.2), PT Sinar Sakti Nusantara, (Tergugat
VI).
Sedangkan fakta hukumnya berawal di mana
pada waktu itu almarhum Ahmad Jajang, meninggalkan ahli waris, yaitu seorang
istri bernama Siti Wahyu Widayati (Penggugat), dan 2 orang saudara, yaitu Arno
Suwarno (Tergugat V.1) dan Ato Suwanto (Tergugat V.2). Penggugat menikah dengan
Alm. Ahmad Jajang secara Islam di Jatisari pada tanggal 21 November 1985, di
mana dibuktikan berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Karawang No.
52/Pdt./2001/PA.Krw tanggal 11 Desember 2001 dan Akta Nikah yang dikeluarkan
oleh KUA Kecamatan Jatisari Kabupaten Karawang No. 64/64/I/2002 tanggal 11
Januari 2002.
Almarhum Ahmad Jajang meninggalkan harta
warisan berupa:
1.
Tanah seluas 1.025 m²,
dengan Sertifikat Hak Milik No. 107, gambar situasi No. 111/1997 tanggal 5
September 1997, terletak di Desa Utama Kecamatan Cimahi Selatan;
2.
Tanah seluas 198 m²,
Sertifikat Hak Milik No. 200, gambar sitausi No. 87/1979, terletak di Desa
Utama Kecamatan Cimahi Selatan setempat dikenal Jalan Leuwigajah.
Atas
tanah sertifikat Hak Milik No. 107 dan Sertifikat Hak Milik No. 200 yang semula
dalam sertifikat tercatat atas nama Alm. Ahmad Jajang ternyata telah dilakukan
peralihan hak menjadi atas nama Tergugat V.1 berdasarkan Surat Keterangan Hak
Waris Notaris Melly Nathaniel, S.H., No. 1/KWH/1996 tanggal 18 Maret 1996.
Bahwa kemudian Tergugat V.1 telah memberikan Surat Kuasa untuk memasang Hak
Tanggungan kepada Tergugat II yang dibuat di hadapan Notaris Ny. Toety
Juniarto, S.H., No. 61 tanggal 22 Agustus 1996 untuk kepentingan utangnya
Tergugat IV pada Tergugat II, dan selanjutnya dibuat Akta Pembebanan Hak
Tanggungan No. 264/21/Cimahi Selatan/1996 tertanggal 6 September 1996, dan
diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan No. 578/1997 tertanggal 1 April 1997 oleh
Tergugat IV.
Pada makalah ini penulis menemukan
pertentangan antara norma dan asas-asas dalam Hak Tanggungan dengan fakta yang
terjadi dimana akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
B.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Penulis merumuskan 2 (dua) pokok permasalah dalam makalah
ini, yakni:
1. Apakah
Sertifikat Hak Tanggungan No. 578/1997 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor BPN
Kabupaten Bandung tersebut sah apabila dihubungkan dengan asas spesialitas dan
Pasal 1320 KUH Perdata?
2. Bagaimanakah konsekuensi yuridisnya terhadap Tergugat V.1
dikarenakan melakukan pembebanan hak tanggungan diatas tanah yang bukan miliknya?
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A.
PENGERTIAN
HAK TANGGUNGAN
Pengertian Hak Tanggungan tertuang di
dalam Pasal 1 angka 1 UUHT yang berbunyi:
“Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”
Menurut Prof. A.P. Parlindungan, dalam
pembatasan yang ditetapkan dalam pasal 1 ini telah memberikan suatu hal yang
jelas sekali, yaitu[3]:
a. memberikan
kedudukan yang utama atau mendahului kepada pemegangnya;
b. selalu
mengikuti obyek yang dijamin di tangan siapapun obyek itu berada;
c. memenuhi
asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan
memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan; dan
d. mudah
dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Namun
menurut Prof. Remy Sjahdeini, ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut.
Unsur-unsur pokok itu ialah[4]:
1. Hak
Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2. Objek
Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3. Hak
Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat
pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu.
4. Utang
yang dijamin harus suatu utang tertentu.
5. Memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain.
B.
ASAS ASAS HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan sebagi satu-satunya lembaga hak
jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu mempunyai empat asas, yaitu
sebagai berikut :
1. Memberikan kedudukan
yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya atau Droit de preference.
Hal ini berarti bahwa
kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan di dalam
mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada kreditur-kreditur lainnya atas
hasil penjualan benda yang dibebani Hak Tanggungan tersebut .
2. Selalu mengikuti
objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada atau Droit de suite.
Artinya, benda-benda
yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak Tanggungan walau di
tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi
objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang
lain, namun Hak Tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap
mempunyai kekuatan mengikat .
3. Memenuhi asas
spesialitas dan publisitas
Asas
spesialitas maksudnya benda yang dibebani Hak Tanggungan itu harus ditunjuk
secara khusus. Dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan harus disebutkan secara
jelas mengenai benda yang dibebani itu berupa apa, di mana letaknya, berapa
luasnya, apa batas-batasnya, dan apa bukti pemiliknya.
Adapun asas publisitas artinya, hal pembebanan
Hak Tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap
Akta Pembebanan hak Tanggungan harus didaftarkan.
4. Mudah dan pasti
pelaksanaan eksekusinya
Artinya, dapat
dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.
5. Tidak dapat
dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungan.
Artinya, bahwa suatu
Hak Tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi objeknya dan setiap
bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila sebagian dari utang dibayar,
pembayaran tersebut tidak lantas melunasi utang seluruhnya.
C. HAK TANGGUNGAN LAHIR DARI
PERJANJIAN
Di dalam Buku III KUH Perdata Tentang
Perikatan, Pasal 1233 KUH Perdata, ditegaskan bahwa:
“ Tiap – tiap
perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang – undang.”
Dari
pasal di atas maka Hak Tanggungan pun lahir dari perjanjian. Pada dasarnya di
dalam hubungan perikatan, selalu terdapat dua unsur yang hadir secara
bersama-sama, yaitu Schuld dan Haftung.[5] Schuld mewakili kewajiban pada diri
debitor untuk memenuhi kewajiban, prestasi atau utang yang ada pada dirinya
tersebut, dengan tanpa memperhatikan ada tidaknya harta benda miliknya yang
dapat disita oleh kreditor bagi pemenuhan piutang kreditor tersebut. Atau
dengan kata lain Schuld menunjukkan
sisi kewajiban atau prestasi atau utang yang harus dilaksanakan, dipenuhi atau
dibayar, tanpa memerhatikan ada tidaknya hak pada sisi kreditor untuk menuntut
pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang
dari debitor. Perikatan dengan Schuld tanpa
Haftung, dapat lahir karena tidak
terpenuhinya kausa yang halal dari empat syarat lahirnya perjanjian yang
ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pada
sisi sebaliknya dapat juga ditemui adalah perikatan dengan Haftung tetapi tanpa Schuld.
Perikatan jenis ini dapat ditemui dari perjanjian pemberian jaminan kebendaan
oleh pihak ketiga, yang bertujuan untuk menanggung atau menjamin pemenuhan,
pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang seorang
debitor kepada kreditor. Dengan perikatan ini, yang lahir dari perjanjian
pemberian jaminan kebendaan oleh pihak ketiga, pihak yang memberikan jaminan
kebendaan tersebut tidak dapat dituntut untuk memenuhi kewajiban, untuk
melaksanakan prestasi, atau untuk membayar utang debitor kepada kreditor.
Tetapi dengan disetujuinya pemberian jaminan kebendaan oleh pihak ketiga
tersebut, pihak ketiga telah meletakkan kebendaannya, yang setiap saat dapat
disita, dan dijual kreditor untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dari
piutangnya kepada kreditor.[6]
Sehingga jika dikaitkan dengan definisi
Hak Tanggungan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan, yaitu :
“Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”
jelas merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan, yang
meskipun tidak dinyatakan dengan tegas, adalah jaminan yang lahir dari suatu
perjanjian. Selanjutnya, jika dibaca lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Hak Tanggungan, dalam rumusan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
Undang-Undang Hak Tanggungan dapat diketahui bahwa pada dasarnya pemberian Hak
Tanggungan hanya dimungkinkan jika dibuat dalam bentuk perjanjian .
1.
Pemberian
Hak Tanggungan Harus Memenuhi Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan rumusan yang
menyatakan bahwa:
“Untuk
sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu
hal tertentu;
4.
Suatu
sebab yang halal.
Ilmu hukum selanjutnya, membedakan
keempat hal tersebut ke dalam dua syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat
objektif.
a.
Pemenuhan
syarat subjektif Pemberian Hak Tanggungan
Sebagai
suatu bentuk perjanjian, maka pemenuhan syarat subjektif pemberian Hak
Tanggungan adalah pemenuhan syarat subjektif sahnya perjanjian. Sebagaimana
dapat dilihat dari rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat
subjektif sahnya perjanjian dapat dibedakan ke dalam:
1. Adanya
kesepekatan dari mereka yang mengikatkan diri;
2. Adanya
kecakapan dari para pihak untuk membuat perikatan.
b.
Syarat
Objektif
Syarat
objektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:
1) Pasal 1322 sampai dengan Pasal 1334 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam
perjanjian.
2) Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab
yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak .
D. Pembuatan
Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”)
Pasal 10
ayat (2) UUHT mengatur bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam APHT wajib dicantumkan nama,
identitas, dan domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukan secara
jelas utang yang dijamin oleh Hak Tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang
jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap
mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada dan tidak dapat
dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam APHT.
Menurut Pasal
14 ayat (1) UUHT sebagai tanda bukti telah lahirnya Hak Tanggungan, pemegang
Hak Tanggungan akan diberikan Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh
Kantor Pertanahan. Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan demikian,
Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku
sebagai pengganti grosse akta sepanjang mengenai hak atas tanah .
E.
SUBJEK
HAK TANGGUNGAN
Dalam Hak Tanggungan juga terdapat
subjek hukum yang menjadi hak tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi
Hak Tanggungan. Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang
mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut[7]:
1) Pemberi
Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan.
2) Pemegang
Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai
jaminan dari piutang yang diberikannya.
Undang-Undang Hak Tanggungan menurut
ketentuan mengenai Subjek Hak Tanggungan dalam Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu
sebagai berikut:
1) Pemberian
Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang
bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan.
2) Pemegang
Hak Tanggungan, adalah orang peroangan atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak yang berpiutang.
Yang dapat menjadi subjek
Hak Tanggungan :
Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan
selain Warga Negara Indonesia, dengan ditetapkannya Hak Pakai atas Tanah Negara
sebagai salah satu objek Hak Tanggungan, bagi Warga Negara Asing juga
dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek Hak Tanggungan, apabila memenuhi
syarat.[8]
Jika Hak Pakai itu oleh Warga Negara
Asing yang mana Hak Pakai itu menurut Undang-Undang Hak Tanggungan juga dapat
menjadi objek Hak Tanggungan, ada persayaratan untuk menjadi subjek Hak Pakai
yang harus dipenuhi. Demikian juga kalau Warga Negara Asing tersebut mengajukan
permohonan kredit dengan Hak Pakai atas Tanah Negara sebagai jaminan, harus
memenuhi persyaratan antara lain:
-
Sudah tinggal di Indonesia
dalam waktu tertentu,
-
Mempunyai usaha di
Indonesia; dan
-
Kredit itu dipergunakan
untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia.[9]
F.
OBJEK
HAK TANGGUNGAN
Berdasarkan
Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat dibebani hak tanggungan adalah
hak-hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal
4 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :
a) Hak
Milik
b) Hak
Guna Usaha
c) Hak
Guna Bangunan
d) Hak
Pakai Atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindah tangankan
e) Hak
Atas Tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka
nada yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan
milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas
dinyatakan dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang bersangkutan
Pada prinsipnya, objek Hak tanggungan
adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib
didaftarkan(untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk
memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijain pelunasannya.[10]
G.
BERAKHIRNYA
HAK TANGGUNGAN
Sebab-sebab
yang menghapus Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut
Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai
berikut[11]
:
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan
Hak Tanggungan
Hapusnya utang itu mengakibatkan Hak
Tanggungan sebagai hak accesoir menjadi
hapus. Hal ini terjadi karena adanya Hak Tanggungan tersebut adalah untuk
menjamin pelunasan dari utang debitur yang menjadi perjanjian pokoknya. Dengan
demikian, hapusnya utang tersebut juga mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.
b. Dilepaskan Hak Tanggungan
berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri
Hapusnya Hak Tanggungan karena
dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pemberian
pernyataan tertulis mengenai hak dilepaskannya Hak Tanggungan kepada pemberi
Hak Tanggungan.
c. Pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri
Hapusnya Hak Tanggungan karena
adanya pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri, ini terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya ini
dibersihkan dari beban Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena
pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang
dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 UUHT.
d. Hapusnya hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan
Hak Tanggungan hapus karena hak atas
tanah yang dibebani hak tanggungan hapus. Hapusnya hak atas tanah ini tidak
menyebabkan hapusnya pula utang yang dijamin pelunasannya oleh debitur. Sebagai
konsekuensinya, pemegang hak tanggungan berubah kedudukannya dari kreditor
preferen menjadi kroduter konkuren. Bahkan kreditor yang demikian tidak
memiliki hak jaminan yang kuat dan kepastian hukum akan dilunasinya utang
debitur, karena hak tanggungannya hapus dikarenakan hapusnya hak atas tanah
yang dibebani dengan tanggungan tersebut .
H.
PENGHAPUSAN DAN PENCORETAN HAK
TANGGUNGAN
Ketentuan
mengenai penghapusan dan pencoretan Hak Tanggungan diatur secara terpisah dalam
Undang-Undang Hak Tanggungan. Hapusya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18,
yang merupakan bagian dari Bab IV di bawah subjudul besar TATA CARA PEMBERIAN,
PENDAFTARAN, PERALIHAN DAN HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN. Sedangkan pencoretan Hak
Tanggungan diatur dalam Bab VI, di bawah subjudul besar tersendiri, yaitu
PENCORETAN HAK TANGGUNGAN.
a.
Hapusnya Hak Tanggungan
Pasal
18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan alasan limitatif bagi
hapusnya Hak Tanggungan. Alasan-alasan limitatif tersebut adalah:
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan
Hak Tanggungan;
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh
pemegang Hak Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan
bedasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan.
b. Pencoretan
Hak Tanggungan
Pencoretan
pendaftaran Hak Tanggungan adalah suatu perbuatan perdata yang mengikuti
hapusnya Hak Tanggungan. Dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Hak
Tanggungan secara jelas dikatakan:
Pasal 22
(1). Setelah Hak Tanggungan hapus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak
Tanggungan tersebut pada buku-buku hak atas tanah dan sertifikatnya.
Pencoretan
pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian
Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan. Dalam hal Sertifikat Hak
Tanggungan tidak dikembalikan, maka hak tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah
Hak Tanggungan. Ini berarti, sejalan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2)
Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu bahwa “Dengan hapusnya Hak Tanggunga,
Sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah
Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan”.
Dengan
demikian jelaslah bahwa pencoretan Hak Tanggungan adalah suatu kegiatan yang
dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan setelah Hak Tanggungan yang diberikan
olehnya hapus, menurut ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan. Untuk
keperluan pencoretan Hak Tanggungan tersebut, pemberi Hak Tanggungan yang telah
hapus Hak Tanggungannya diperbolehkan untuk mempergunakan semua sarana hukum
yang dipebolehkan (termasuk permohonan pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri),
dan karenanya juga mempergunakan semua alat bukti yang diperkenankan yang
membuktikan telah hapusnya Hak Tanggungan tersebut .
BAB
III
PEMBAHASAN
1. Apakah
Sertifikat Hak Tanggungan No. 578/1997 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor BPN
Kabupaten Bandung tersebut sah apabila dihubungkan dengan asas spesialitas dan
Pasal 1320 KUH Perdata?
Salah satu asas dalam Hak Tanggungan
adalah asas spesialitas. Asas spesialitas maksudnya adalah bahwa benda yang
dibebani oleh Hak Tanggungan harus jelas dan ditunjuk secara khusus seperti
yang disebutkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Hak Tanggungan :
Pasal 11
(1) Di
dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila
di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula
dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisilipilihan
itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pembebanan HakTanggungan
dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang
dijaminsebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas
mengenai obyek Hak Tanggungan.
Jadi, berdasarkan pasal
11 huruf a, seharusnya BPN Kabupaten Bandung harus terlebih dahulu menelusuri
apakah keabsahan sertifikat hak atas tanah tersebut memang benar atas nama
pemiliknya, yaitu Tergugat V.1. Perlu dicatat bahwasanya sebelum diterbitkannya Sertifikat Hak
Tanggungan No. 578/1997 tertanggal 1 April 1997 oleh Tergugat IV dalam hal ini
Kepala Kantor Kabupaten BPN Kabupaten Bandung, maka perlu diterbitkan terlebih
dahulu Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
Akta Pembebanan Hak
Tanggungan No. 264/21/Cimahi Selatan/1996 tertanggal 6 September 1996 yang
dibuat oleh Notaris Ny. Toety Juniarto, S.H., seharusnya memperhatikan
substansi dari Akta Pembebanan Hak Tanggungan itu sendiri. Salah satu substansi
yang harus ada di dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan adalah uraian yang jelas
tentang objek Hak Tanggungan. Di dalam kasus ini jelas bahwa objek Hak
Tanggungannya cacat hukum, dikarenakan adanya peralihan sepihak hak atas tanah
dari ahli waris (3 orang), dialihkan hanya kepada salah satu alih waris saja,
yaitu Tergugat V.1.
Seharusnya apabila
pejabat dalam hal ini notaris yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan ini
professional dalam menjalankan wewenangnya, maka ketika Tergugat V.1 mengajukan
untuk dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai kelanjutan dari Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan maka Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut
tidak pernah ada.
Keabsahan Akta Pemberian Hak Tanggungan ini lah yang seharusnya
dipertanyakan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung (Tergugat IV). Lagipula jika
dihubungan dengan asas spesialitas yang mengharuskan benda yang dibebani Hak
Tanggungan jelas dan ditunjuk secara khusus dalam hal ini bukti kepemilikannya maka
dalam kasus ini, Sertifikat Hak Tanggungan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor BPN
Kabupaten Bandung itu adalah tidak sah karena ketika didaftarkan untuk
dibuatkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) di Kantor BPN Kabupaten Bandung, kepemilikan
Tanah ini ada pada tergugat V.I yang pada sebelumnya di PN Bale Bandung sudah
ditetapkan bahwa Penggugat dan Tergugat V.I dan V.II adalah ahli waris dari
Ahmad Jajang yang memiliki Sertifikat Hak Milik atas tanah peninggalannya .
Selain itu, seperti yang diketahui bahwa di dalam Pasal
1320 KUH Perdata diatur perihal syarat sahnya suatu perjanjian.
Pasal
1320
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat :
1.
Sepakat mereka yang
mengikatkan diri
2.
Kecakapan untuk membuat
suatu perikatan
3.
Suatu hal tertentu
4. Causa
yang halal
Jika
syarat pada point 1 dan point 2 tidak terpenuhi yang disebut dengan syarat
subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan , dan jika syarat pada point 3 dan
point 4 yang disebut dengan syarat obyektif tidak terpenuhi makan perjanjiannya
akan batal demi hukum.
Penulis
berpendapat bahwa memang benar perikatan yang terjadi antara Tergugat V.1 dan Tergugat
II adalah sah dikarenakan lahir dari perjanjian, namun penulis melihat bahwa
objek yang diperjanjikan adalah tidak sah dan melanggar asas kepatutan sehingga
Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) tersebut harus dibatalkan.
Tidak
terjadinya kesepakatan antara Siti Wahyu Widayati (Penggugat), Arno Suwarno
(Tergugat V.1) dan Ato Suwanto (Tergugat V.2) untuk memberikan kuasa untuk
memasang Hak Tanggungan atas tanah tersebut (SHM No. 107 dan SHM No. 200)
kepada Tergugat II, yaitu Indover Asia
Limited Hongkong cq. Indover Bank Representative Office Indonesia untuk
dibebankan Hak Tanggungan padahal ketiga orang tersebut merupakan ahli waris
dari tanah warisan almarhum Ahmad Jajang (Putusan PN Bale Bandung No.
111/Pdt.G/1998/PN.BB) bertentang dengan syarat subjektif sahnya suatu
perjanjian. Sehingga Sertifikat Hak Tanggungan tersebut harus dibatalkan .
2. Bagaimanakah
konsekuensi yuridisnya terhadap Tergugat
V.1 dikarenakan melakukan pembebanan hak tanggungan diatas tanah yang bukan
miliknya?
Di dalam Pasal 8 dan Pasal 9, pemberi
Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang
bersangkutan. Dari pasal tersebut jelas bahwa pemberi hak tanggungan, yaitu Tergugat
V.1 dalam hal ini Arno Suwarno.
Selain itu, menurut Pasal 25 UUHT, Hak
Tanggungan dapat dibebankan di atas tanah Hak Milik, dalam hal ini SHM No. 107
dan SHM No. 87. Namun, penulis menganalisis bahwa apabila didasarkan pada fakta
hukumnya, penjaminan objek Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Tergugat V.1,
yaitu Arno Suwarno kepada Tergugat II, yaitu Indover Asia Limited Hongkong cq.
Indover Bank Representative Office Indonesia sehingga diterbitkan Sertifikat
Hak Tanggungan (SHT) oleh Tergugat IV, yaitu BPN Kabupaten Bandung adalah tidak
sah dikarenakan pembebanan Hak Tanggungan tersebut bukan di objek Hak
Tanggungan yang merupakan miliknya secara pribadi.[12]
Konsekuensi
yuridis dari perbuatan Tergugat dari sudut Hukum Perdata adalah bahwa ia telah
melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu melanggar Pasal 1365 KUH Perdata.
Unsur-unsur
di dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah:
1. Adanya
perbuatan melawan hukum;
2. Adanya
unsur kesalahan;
3. Adanya
kerugian;
4. Adanya
hubungan sebab akibat.
Ad. 1 (Adanya perbuatan
melawan hukum)
Dalam hal adanya perbuatan melawan hukum,
dalam perkara ini Tergugat V.1 telah melanggar hak orang lain, yaitu hak dari
Penggugat. Tergugat V.1 secara sepihak melakukan pengalihan hak atas kedua
tanah tersebut menjadi atas namanya. Sehingga penulis berpendapat bahwa
Sertifikat Atas Tanah tersebut tidak sah .
Ad. 2 (Adanya unsur kesalahan)
Di dalam unsur kesalahan, akan dilihat apakah
merupakan kesengajaan atau kealpaan. Dalam kasus ini jelas bahwa Tergugat
V.1 telah melakukan kealpaan/kelalaian,
dimana Tergugat V.1 telah menggunakan Surat Keterangan Waris guna memuluskan
kehendaknya untuk memasangkan Hak Tanggungan kepada Tergugat II, yaitu Indover
Asia Limited Hongkong cq. Indover Bank Representative Office Indonesia. Penulis
melihat bahwa Surat Keterangan Waris yang sengaja dibuat oleh Tergugat V.1 itu
adalah tidak sah dikarenakan belum adanya kesepakatan dengan ahli waris
lainnya, yakni Penggugat dan Tergugat V.2 yang juga memiliki hak yang sama atas
setiap persil tanah yang telah diwariskan oleh Alm. Ahmad Jajang .
Ad. 3 (Adanya kerugian)
Yang dimaksud dengan kerugian dalam Pasal
1365 KUH Perdata adalah kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Kerugian
yang ditimbulkan oleh Tergugat V.1 adalah bahwa seharusnya Penggugat dapat
memanfaatkan beberapa bagian atas tanah yang menjadi miliknya dari warisan Alm.
Ahmad Jajang.
Ad. 4 (Adanya hubungan sebab-akibat)
Adanya unsur sebab-akibat untuk memenuhi
Pasal 1365 KUH Perdata adalah dimaksudkan untuk meneliti adanya hubungan kausal
antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan. Sehingga penulis
memang melihat adanya hubungan antara Ad. 1 yaitu, adanya perbuatan melawan
hukum dan Ad. 2 yaitu, adanya kerugian
yang ditimbulkan.
Konsekuensi yuridis lainnya bagi Tergugat
V.1, bahwa Tergugat V.1 dari sudut Hukum Pidana dapat dipidana. Penulis
memandang bahwa perbuatan Tergugat V.1 memenuhi unsur-unsur delik di dalam
Pasal 264 KUHP ayat (2).
Pasal 264 KUHP
(1) Pemalsuan
surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan
terhadap;
1. Akta-akta
otentik;
(2) Diancam
dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam
ayat pertama, yang isinya tidak benar atau palsu seolah-olah benar dan tidak
palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pertama, dari fakta di atas
bahwasanya Tergugat V.1 telah melakukan pemalsuan Surat Keterangan Waris dengan
sepihak dan surat tersebut digunakan untuk kepentingannya sendiri guna
menjaminkan Sertifikat
Hak Milik No. 107 dan Sertifikat Hak Milik No. 200.
Kedua,
bahwa Tergugat V.1 dengan sengaja memanfaatkan Surat Keterangan Waris itu untuk
mengalihkan Sertifikat Hak Milik No. 107 dan Sertifikat Hak Milik No. 200 yang
sebelumnya masih atas nama Alm. Ahmad Jajang menjadi atas namanya sendiri.
Ketiga,
dari fakta di atas bahwasanya Tergugat V.1 dengan pemalsuan Surat Keterangan
Waris dan Pemalsuan Sertifikat Atas Tanah juga memenuhi unsur “dapat
menimbulkan kerugian”. Dengan pemalsuan kedua akta otentik tersebut maka
Penggugat dan Tergugat V.2 dirugikan karena perbuatannya .
BAB IV
KESIMPULAN
1. Kesimpulan
pertama, bahwasanya Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) No. 578/1997 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor BPN
Kabupaten Bandung (Tergugat IV) tersebut
cacat hukum dan tidak sah dengan didasarkan adanya pertentangan dengan
asas spesialitas dan Pasal 1320 tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Selain
itu, penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan itu juga bertentangan dengan asas
kepatutan.
2. Kesimpulan
kedua, bahwasanya Tergugat V.1 dikarenakan melakukan pembebanan hak tanggungan
di atas tanah yang bukan miliknya, dalam hal ini tidak adanya kesepakatan
sebelumnya dengan ahli waris, yaitu Penggugat dan Tergugat V.2. Maka Tergugat
V.1 telah melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) sebagai
konsekuensi yuridis dikarenakan perbuatannya. Tergugat V.1 telah memenuhi semua
unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana dijabarkan di dalam Bab sebelumnya.
Selain itu, Tergugat V.1 juga memenuhi semua unsur delik pada Pasal 264 ayat
(2) KUHP, sehingga ia patut diduga dapat dipidana .
DAFTAR PUSTAKA
A.P.
Parlindungan, Komentar Undang-Undang
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan
Tanah (U.U. No. 4 Tahun 1996/9 April 1996/L.N. No. 42) & Sejarah
Terbentuknya, Medan: Mandar Maju, 1996
Indriatni
Naning, “UUHT Menciptakan Unifikasi Hukum
Tanah Nasional”, Suara Pembaharuan,
31 Maret 1996
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Muljadi,
Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum
Harta Kekayaan, Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada Media Group, 2008
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Sjahdeini
Remy, Hak Tanggungan : Asas-Asas,
Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu
Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni, 1999
Sutedi
Adrian, Hukum Hak Tanggungan, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010
Putusan
:
Putusan
Pengadilan Negeri Bandung Nomor 275/PDT.G/2002/PN.BDG dalam perkara antara Siti
Wahyu Widayati sebagai Penggugat dan para Tergugat dalam perkara ini, yaitu
Kantor Lelang Negara KL. I A Bandung, Indover Asia Limited Hongkong cq. Indover
Bank Representative Office Indonesia, Dimas Putranto, Pemerintah RI cq. Kepala
Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat cq. Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung, Arno
Suwarno, Ato Suwanto, PT. Sinar Sakti Matra Nusantara .
[1] Sjahdeini Rehmi, Hak
Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi
Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung:
Alumni, 1999, hlm. 1.
[2] Sutedi Adrian, Hukum
Hak Tanggungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.225.
[3] A.P. Parlindungan, Komentar
Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
berkaitan dengan Tanah (U.U. No. 4 Tahun 1996/9 April 1996/L.N. No. 42) &
Sejarah Terbentuknya, Medan: Mandar Maju, 1996, hlm. 35.
[4] Sjahdeini Rehmi, op.cit.,
hlm, 11.
[5] Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada Media
Group, 2008, hlm. 15.
[6] Ibid, hlm. 16.
[7] Sutedi Adrian, op.cit.,
hlm. 53.
[8] Ibid, hlm. 54.
[9] Indriatni Naning, “UUHT
Menciptakan Unifikasi Hukum Tanah Nasional”, Suara Pembaharuan, 31 Maret 1996.
[10] Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.51-53
[11] Ibid, hlm. 79.
[12] Lihat : Berdasarkan Putusan PN Bale Bandung dengan No.
111/Pdt.G/1998/PN.BB (telah berkekuatan hukum tetap) pada tanggal 22 Desember
1998, dinyatakan bahwa ahli waris dari Alm. Jajang adalah Siti Wahyu WIdayati,
Arno Suwarno, dan Ato Suwanto dan 6 persil tanah di antaranya Sertifikat Hak
Milik No. 107 dan Sertifikat Hak Milik No. 200.