Jumat, 01 Agustus 2014

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP TANAH WARISAN DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN PN BANDUNG NOMOR 275/PDT.G/2002/PN.BDG


BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjanjikan adanya undang-undang tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, telah disahkan pada tanggal 9 April 1996. Kependekan resmi dari nama “Undang-undang Hak Tanggungan” disingkat UUHT. Dengan telah diundangkannya Undang-undang Hak Tanggungan tersebut, terwujudlah sudah unifikasi hukum tanah nasional.[1]
Perwujudan adanya unifikasi hukum, khususnya hukum pertanahan di Indonesia, seharusnya dapat menjadi indikator untuk mereduksi kesenjangan antara Das sollen dan Das sein. Acapkali, apa yang seharusnya (Das sollen) dan apa yang dicapai (Das sein) berbanding terbalik.
Di dalam makalah ini, penulis ingin menganalisis putusan mengenai Hak Tanggungan, yaitu Putusan PN Bandung Nomor 275/PDT.G/2002/PN.BDG.[2] Berikut adalah para pihak di dalam perkara tersebut, yakni : Siti Wahyu Widayati sebagai Penggugat dan para Tergugat dalam perkara ini, yaitu Kantor Lelang Negara KL. I A Bandung, (Tergugat I), Indover Asia Limited Hongkong cq. Indover Bank Representative Office Indonesia, (Tergugat II), Dimas Putranto (Tergugat III), Pemerintah RI cq. Kepala BPN cq. Kepala Kanwil BPN provinsi Jawa Barat cq. Kepala kantor BPN Kabupaten Bandung (Tergugat IV), Arno Suwarno (Tergugat V.1), Ato Suwanto (Tergugat V.2), PT Sinar Sakti Nusantara, (Tergugat VI).
Sedangkan fakta hukumnya berawal di mana pada waktu itu almarhum Ahmad Jajang, meninggalkan ahli waris, yaitu seorang istri bernama Siti Wahyu Widayati (Penggugat), dan 2 orang saudara, yaitu Arno Suwarno (Tergugat V.1) dan Ato Suwanto (Tergugat V.2). Penggugat menikah dengan Alm. Ahmad Jajang secara Islam di Jatisari pada tanggal 21 November 1985, di mana dibuktikan berdasarkan Penetapan Pengadilan Agama Karawang No. 52/Pdt./2001/PA.Krw tanggal 11 Desember 2001 dan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Jatisari Kabupaten Karawang No. 64/64/I/2002 tanggal 11 Januari 2002.
Almarhum Ahmad Jajang meninggalkan harta warisan berupa:
1.            Tanah seluas 1.025 m², dengan Sertifikat Hak Milik No. 107, gambar situasi No. 111/1997 tanggal 5 September 1997, terletak di Desa Utama Kecamatan Cimahi Selatan;
2.            Tanah seluas 198 m², Sertifikat Hak Milik No. 200, gambar sitausi No. 87/1979, terletak di Desa Utama Kecamatan Cimahi Selatan setempat dikenal Jalan Leuwigajah.
Atas tanah sertifikat Hak Milik No. 107 dan Sertifikat Hak Milik No. 200 yang semula dalam sertifikat tercatat atas nama Alm. Ahmad Jajang ternyata telah dilakukan peralihan hak menjadi atas nama Tergugat V.1 berdasarkan Surat Keterangan Hak Waris Notaris Melly Nathaniel, S.H., No. 1/KWH/1996 tanggal 18 Maret 1996. Bahwa kemudian Tergugat V.1 telah memberikan Surat Kuasa untuk memasang Hak Tanggungan kepada Tergugat II yang dibuat di hadapan Notaris Ny. Toety Juniarto, S.H., No. 61 tanggal 22 Agustus 1996 untuk kepentingan utangnya Tergugat IV pada Tergugat II, dan selanjutnya dibuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan No. 264/21/Cimahi Selatan/1996 tertanggal 6 September 1996, dan diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan No. 578/1997 tertanggal 1 April 1997 oleh Tergugat IV.
Pada makalah ini penulis menemukan pertentangan antara norma dan asas-asas dalam Hak Tanggungan dengan fakta yang terjadi dimana akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
B.   IDENTIFIKASI MASALAH
Penulis merumuskan 2 (dua) pokok permasalah dalam makalah ini, yakni:
1.    Apakah Sertifikat Hak Tanggungan No. 578/1997 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung tersebut sah apabila dihubungkan dengan asas spesialitas dan Pasal 1320 KUH Perdata?
2.    Bagaimanakah  konsekuensi yuridisnya terhadap Tergugat V.1 dikarenakan melakukan pembebanan hak tanggungan diatas tanah yang bukan miliknya?


BAB II
TINJAUAN TEORI
A.   PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
Pengertian Hak Tanggungan tertuang di dalam Pasal 1 angka 1 UUHT yang berbunyi:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana  dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”
Menurut Prof. A.P. Parlindungan, dalam pembatasan yang ditetapkan dalam pasal 1 ini telah memberikan suatu hal yang jelas sekali, yaitu[3]:
a.    memberikan kedudukan yang utama atau mendahului kepada pemegangnya;
b.    selalu mengikuti obyek yang dijamin di tangan siapapun obyek itu berada;
c.    memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan; dan
d.    mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Namun menurut Prof. Remy Sjahdeini, ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan  yang termuat di dalam definisi tersebut. Unsur-unsur pokok itu ialah[4]:
1.    Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2.    Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3.    Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
4.    Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
5.    Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

B.   ASAS ASAS HAK TANGGUNGAN
Hak Tanggungan sebagi satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu mempunyai empat asas, yaitu sebagai berikut :
1.    Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya atau Droit de preference.
Hal ini berarti bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani Hak Tanggungan tersebut .
2.    Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada atau Droit de suite.
Artinya, benda-benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun Hak Tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat .
3.    Memenuhi asas spesialitas dan publisitas
Asas spesialitas maksudnya benda yang dibebani Hak Tanggungan itu harus ditunjuk secara khusus. Dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan harus disebutkan secara jelas mengenai benda yang dibebani itu berupa apa, di mana letaknya, berapa luasnya, apa batas-batasnya, dan apa bukti pemiliknya.
Adapun asas publisitas artinya, hal pembebanan Hak Tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap Akta Pembebanan hak Tanggungan harus didaftarkan.
4.    Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
Artinya, dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.
5.    Tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan.
Artinya, bahwa suatu Hak Tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila sebagian dari utang dibayar, pembayaran tersebut tidak lantas melunasi utang seluruhnya.
C.   HAK TANGGUNGAN LAHIR DARI PERJANJIAN
Di dalam Buku III KUH Perdata Tentang Perikatan, Pasal 1233 KUH Perdata, ditegaskan bahwa:
“ Tiap – tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang – undang.”
Dari pasal di atas maka Hak Tanggungan pun lahir dari perjanjian. Pada dasarnya di dalam hubungan perikatan, selalu terdapat dua unsur yang hadir secara bersama-sama, yaitu Schuld dan Haftung.[5] Schuld mewakili kewajiban pada diri debitor untuk memenuhi kewajiban, prestasi atau utang yang ada pada dirinya tersebut, dengan tanpa memperhatikan ada tidaknya harta benda miliknya yang dapat disita oleh kreditor bagi pemenuhan piutang kreditor tersebut. Atau dengan kata lain Schuld menunjukkan sisi kewajiban atau prestasi atau utang yang harus dilaksanakan, dipenuhi atau dibayar, tanpa memerhatikan ada tidaknya hak pada sisi kreditor untuk menuntut pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang dari debitor. Perikatan dengan Schuld tanpa Haftung, dapat lahir karena tidak terpenuhinya kausa yang halal dari empat syarat lahirnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pada sisi sebaliknya dapat juga ditemui adalah perikatan dengan Haftung tetapi tanpa Schuld. Perikatan jenis ini dapat ditemui dari perjanjian pemberian jaminan kebendaan oleh pihak ketiga, yang bertujuan untuk menanggung atau menjamin pemenuhan, pelaksanaan atau pembayaran suatu kewajiban, prestasi atau utang seorang debitor kepada kreditor. Dengan perikatan ini, yang lahir dari perjanjian pemberian jaminan kebendaan oleh pihak ketiga, pihak yang memberikan jaminan kebendaan tersebut tidak dapat dituntut untuk memenuhi kewajiban, untuk melaksanakan prestasi, atau untuk membayar utang debitor kepada kreditor. Tetapi dengan disetujuinya pemberian jaminan kebendaan oleh pihak ketiga tersebut, pihak ketiga telah meletakkan kebendaannya, yang setiap saat dapat disita, dan dijual kreditor untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dari piutangnya kepada kreditor.[6]
Sehingga jika dikaitkan dengan definisi Hak Tanggungan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu :
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana  dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”
jelas merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan, yang meskipun tidak dinyatakan dengan tegas, adalah jaminan yang lahir dari suatu perjanjian. Selanjutnya, jika dibaca lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, dalam rumusan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Hak Tanggungan dapat diketahui bahwa pada dasarnya pemberian Hak Tanggungan hanya dimungkinkan jika dibuat dalam bentuk perjanjian .
1.    Pemberian Hak Tanggungan Harus Memenuhi Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan rumusan yang menyatakan bahwa:
“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    Suatu hal tertentu;
4.    Suatu sebab yang halal.
Ilmu hukum selanjutnya, membedakan keempat hal tersebut ke dalam dua syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.
a.    Pemenuhan syarat subjektif Pemberian Hak Tanggungan
Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka pemenuhan syarat subjektif pemberian Hak Tanggungan adalah pemenuhan syarat subjektif sahnya perjanjian. Sebagaimana dapat dilihat dari rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat subjektif sahnya perjanjian dapat dibedakan ke dalam:
1.    Adanya kesepekatan dari mereka yang mengikatkan diri;
2.    Adanya kecakapan dari para pihak untuk membuat perikatan.
b.    Syarat Objektif
Syarat objektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:
1)    Pasal 1322 sampai dengan Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.
2)    Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak .

D.   Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”)
Pasal 10 ayat (2) UUHT mengatur bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Didalam APHT wajib dicantumkan nama, identitas, dan domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukan secara jelas utang yang dijamin oleh Hak Tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada dan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam APHT.
Menurut Pasal 14 ayat (1) UUHT sebagai tanda bukti telah lahirnya Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan akan diberikan Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah  “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan demikian, Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta sepanjang mengenai hak atas tanah .
E.   SUBJEK HAK TANGGUNGAN
Dalam Hak Tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi hak tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi Hak Tanggungan. Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut[7]:
1)    Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan.
2)    Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya.
Undang-Undang Hak Tanggungan menurut ketentuan mengenai Subjek Hak Tanggungan dalam Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu sebagai berikut:
1)    Pemberian Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan.
2)    Pemegang Hak Tanggungan, adalah orang peroangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan :
Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan selain Warga Negara Indonesia, dengan ditetapkannya Hak Pakai atas Tanah Negara sebagai salah satu objek Hak Tanggungan, bagi Warga Negara Asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek Hak Tanggungan, apabila memenuhi syarat.[8]
Jika Hak Pakai itu oleh Warga Negara Asing yang mana Hak Pakai itu menurut Undang-Undang Hak Tanggungan juga dapat menjadi objek Hak Tanggungan, ada persayaratan untuk menjadi subjek Hak Pakai yang harus dipenuhi. Demikian juga kalau Warga Negara Asing tersebut mengajukan permohonan kredit dengan Hak Pakai atas Tanah Negara sebagai jaminan, harus memenuhi persyaratan antara lain:
-       Sudah tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu,
-       Mempunyai usaha di Indonesia; dan
-       Kredit itu dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia.[9]

F.    OBJEK HAK TANGGUNGAN
Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :
a)    Hak Milik
b)    Hak Guna Usaha
c)    Hak Guna Bangunan
d)    Hak Pakai Atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan
e)    Hak Atas Tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau aka nada yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang bersangkutan
Pada prinsipnya, objek Hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan(untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijain pelunasannya.[10]

G.   BERAKHIRNYA HAK TANGGUNGAN
Sebab-sebab yang menghapus Hak Tanggungan ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT tersebut, Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut[11] :
a.    Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
Hapusnya utang itu mengakibatkan Hak Tanggungan sebagai hak accesoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya Hak Tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan dari utang debitur yang menjadi perjanjian pokoknya. Dengan demikian, hapusnya utang tersebut juga mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.
b.    Dilepaskan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri
Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegang Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai hak dilepaskannya Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
c.    Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri
Hapusnya Hak Tanggungan karena adanya pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, ini terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya ini dibersihkan dari beban Hak Tanggungan. Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUHT.
d.    Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
Hak Tanggungan hapus karena hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan hapus. Hapusnya hak atas tanah ini tidak menyebabkan hapusnya pula utang yang dijamin pelunasannya oleh debitur. Sebagai konsekuensinya, pemegang hak tanggungan berubah kedudukannya dari kreditor preferen menjadi kroduter konkuren. Bahkan kreditor yang demikian tidak memiliki hak jaminan yang kuat dan kepastian hukum akan dilunasinya utang debitur, karena hak tanggungannya hapus dikarenakan hapusnya hak atas tanah yang dibebani dengan tanggungan tersebut .
H.   PENGHAPUSAN DAN PENCORETAN HAK TANGGUNGAN
Ketentuan mengenai penghapusan dan pencoretan Hak Tanggungan diatur secara terpisah dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Hapusya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18, yang merupakan bagian dari Bab IV di bawah subjudul besar TATA CARA PEMBERIAN, PENDAFTARAN, PERALIHAN DAN HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN. Sedangkan pencoretan Hak Tanggungan diatur dalam Bab VI, di bawah subjudul besar tersendiri, yaitu PENCORETAN HAK TANGGUNGAN.
a.    Hapusnya Hak Tanggungan
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan alasan limitatif bagi hapusnya Hak Tanggungan. Alasan-alasan limitatif tersebut adalah:
a.    Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b.    Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c.    Pembersihan Hak Tanggungan bedasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d.    Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

b.    Pencoretan Hak Tanggungan
Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan adalah suatu perbuatan perdata yang mengikuti hapusnya Hak Tanggungan. Dalam rumusan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan secara jelas dikatakan:
Pasal 22
(1). Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-buku hak atas tanah dan sertifikatnya.
Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan. Dalam hal Sertifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hak tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan. Ini berarti, sejalan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu bahwa “Dengan hapusnya Hak Tanggunga, Sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan”.
Dengan demikian jelaslah bahwa pencoretan Hak Tanggungan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan setelah Hak Tanggungan yang diberikan olehnya hapus, menurut ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Hak Tanggungan. Untuk keperluan pencoretan Hak Tanggungan tersebut, pemberi Hak Tanggungan yang telah hapus Hak Tanggungannya diperbolehkan untuk mempergunakan semua sarana hukum yang dipebolehkan (termasuk permohonan pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri), dan karenanya juga mempergunakan semua alat bukti yang diperkenankan yang membuktikan telah hapusnya Hak Tanggungan tersebut .




BAB III
PEMBAHASAN
1.    Apakah Sertifikat Hak Tanggungan No. 578/1997 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung tersebut sah apabila dihubungkan dengan asas spesialitas dan Pasal 1320 KUH Perdata?
Salah satu asas dalam Hak Tanggungan adalah asas spesialitas. Asas spesialitas maksudnya adalah bahwa benda yang dibebani oleh Hak Tanggungan harus jelas dan ditunjuk secara khusus seperti yang disebutkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Hak Tanggungan :
Pasal 11
(1)  Di dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisilipilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pembebanan HakTanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminsebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
Jadi, berdasarkan pasal 11 huruf a, seharusnya BPN Kabupaten Bandung harus terlebih dahulu menelusuri apakah keabsahan sertifikat hak atas tanah tersebut memang benar atas nama pemiliknya, yaitu Tergugat V.1. Perlu dicatat bahwasanya  sebelum diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan No. 578/1997 tertanggal 1 April 1997 oleh Tergugat IV dalam hal ini Kepala Kantor Kabupaten BPN Kabupaten Bandung, maka perlu diterbitkan terlebih dahulu Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
Akta Pembebanan Hak Tanggungan No. 264/21/Cimahi Selatan/1996 tertanggal 6 September 1996 yang dibuat oleh Notaris Ny. Toety Juniarto, S.H., seharusnya memperhatikan substansi dari Akta Pembebanan Hak Tanggungan itu sendiri. Salah satu substansi yang harus ada di dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan adalah uraian yang jelas tentang objek Hak Tanggungan. Di dalam kasus ini jelas bahwa objek Hak Tanggungannya cacat hukum, dikarenakan adanya peralihan sepihak hak atas tanah dari ahli waris (3 orang), dialihkan hanya kepada salah satu alih waris saja, yaitu Tergugat V.1.
Seharusnya apabila pejabat dalam hal ini notaris yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan ini professional dalam menjalankan wewenangnya, maka ketika Tergugat V.1 mengajukan untuk dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai kelanjutan dari Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan maka Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut tidak pernah ada.
Keabsahan Akta Pemberian Hak Tanggungan ini lah yang seharusnya dipertanyakan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung (Tergugat IV). Lagipula jika dihubungan dengan asas spesialitas yang mengharuskan benda yang dibebani Hak Tanggungan jelas dan ditunjuk secara khusus dalam hal ini bukti kepemilikannya maka dalam kasus ini, Sertifikat Hak Tanggungan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung itu adalah tidak sah karena ketika didaftarkan untuk dibuatkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) di Kantor BPN Kabupaten Bandung, kepemilikan Tanah ini ada pada tergugat V.I yang pada sebelumnya di PN Bale Bandung sudah ditetapkan bahwa Penggugat dan Tergugat V.I dan V.II adalah ahli waris dari Ahmad Jajang yang memiliki Sertifikat Hak Milik atas tanah peninggalannya .
Selain itu, seperti yang diketahui bahwa di dalam Pasal 1320 KUH Perdata diatur perihal syarat sahnya suatu perjanjian.  
Pasal 1320
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.    Suatu hal tertentu
4.    Causa yang halal
Jika syarat pada point 1 dan point 2 tidak terpenuhi yang disebut dengan syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan , dan jika syarat pada point 3 dan point 4 yang disebut dengan syarat obyektif tidak terpenuhi makan perjanjiannya akan batal demi hukum.
Penulis berpendapat bahwa memang benar perikatan yang terjadi antara Tergugat V.1 dan Tergugat II adalah sah dikarenakan lahir dari perjanjian, namun penulis melihat bahwa objek yang diperjanjikan adalah tidak sah dan melanggar asas kepatutan sehingga Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) tersebut harus dibatalkan.
Tidak terjadinya kesepakatan antara Siti Wahyu Widayati (Penggugat), Arno Suwarno (Tergugat V.1) dan Ato Suwanto (Tergugat V.2) untuk memberikan kuasa untuk memasang Hak Tanggungan atas tanah tersebut (SHM No. 107 dan SHM No. 200) kepada  Tergugat II, yaitu Indover Asia Limited Hongkong cq. Indover Bank Representative Office Indonesia untuk dibebankan Hak Tanggungan padahal ketiga orang tersebut merupakan ahli waris dari tanah warisan almarhum Ahmad Jajang (Putusan PN Bale Bandung No. 111/Pdt.G/1998/PN.BB) bertentang dengan syarat subjektif sahnya suatu perjanjian. Sehingga Sertifikat Hak Tanggungan tersebut harus dibatalkan .

2.    Bagaimanakah  konsekuensi yuridisnya terhadap Tergugat V.1 dikarenakan melakukan pembebanan hak tanggungan diatas tanah yang bukan miliknya?
Di dalam Pasal 8 dan Pasal 9, pemberi Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dari pasal tersebut jelas bahwa pemberi hak tanggungan, yaitu Tergugat V.1 dalam hal ini Arno Suwarno.
Selain itu, menurut Pasal 25 UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan di atas tanah Hak Milik, dalam hal ini SHM No. 107 dan SHM No. 87. Namun, penulis menganalisis bahwa apabila didasarkan pada fakta hukumnya, penjaminan objek Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Tergugat V.1, yaitu Arno Suwarno kepada Tergugat II, yaitu Indover Asia Limited Hongkong cq. Indover Bank Representative Office Indonesia sehingga diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) oleh Tergugat IV, yaitu BPN Kabupaten Bandung adalah tidak sah dikarenakan pembebanan Hak Tanggungan tersebut bukan di objek Hak Tanggungan yang merupakan miliknya secara pribadi.[12]
Konsekuensi yuridis dari perbuatan Tergugat dari sudut Hukum Perdata adalah bahwa ia telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu melanggar Pasal 1365 KUH Perdata.
Unsur-unsur di dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah:
1.    Adanya perbuatan melawan hukum;
2.    Adanya unsur kesalahan;
3.    Adanya kerugian;
4.    Adanya hubungan sebab akibat.
Ad. 1 (Adanya perbuatan melawan hukum)
   Dalam hal adanya perbuatan melawan hukum, dalam perkara ini Tergugat V.1 telah melanggar hak orang lain, yaitu hak dari Penggugat. Tergugat V.1 secara sepihak melakukan pengalihan hak atas kedua tanah tersebut menjadi atas namanya. Sehingga penulis berpendapat bahwa Sertifikat Atas Tanah tersebut tidak sah .
   Ad. 2 (Adanya unsur kesalahan)
   Di dalam unsur kesalahan, akan dilihat apakah merupakan kesengajaan atau kealpaan. Dalam kasus ini jelas bahwa Tergugat V.1  telah melakukan kealpaan/kelalaian, dimana Tergugat V.1 telah menggunakan Surat Keterangan Waris guna memuluskan kehendaknya untuk memasangkan Hak Tanggungan kepada Tergugat II, yaitu Indover Asia Limited Hongkong cq. Indover Bank Representative Office Indonesia. Penulis melihat bahwa Surat Keterangan Waris yang sengaja dibuat oleh Tergugat V.1 itu adalah tidak sah dikarenakan belum adanya kesepakatan dengan ahli waris lainnya, yakni Penggugat dan Tergugat V.2 yang juga memiliki hak yang sama atas setiap persil tanah yang telah diwariskan oleh Alm. Ahmad Jajang .
      Ad. 3 (Adanya kerugian)
      Yang dimaksud dengan kerugian dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Kerugian yang ditimbulkan oleh Tergugat V.1 adalah bahwa seharusnya Penggugat dapat memanfaatkan beberapa bagian atas tanah yang menjadi miliknya dari warisan Alm. Ahmad Jajang.
      Ad. 4 (Adanya hubungan sebab-akibat)
      Adanya unsur sebab-akibat untuk memenuhi Pasal 1365 KUH Perdata adalah dimaksudkan untuk meneliti adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan. Sehingga penulis memang melihat adanya hubungan antara Ad. 1 yaitu, adanya perbuatan melawan hukum dan Ad. 2 yaitu,  adanya kerugian yang ditimbulkan.
      Konsekuensi yuridis lainnya bagi Tergugat V.1, bahwa Tergugat V.1 dari sudut Hukum Pidana dapat dipidana. Penulis memandang bahwa perbuatan Tergugat V.1 memenuhi unsur-unsur delik di dalam Pasal 264 KUHP ayat (2).
Pasal 264 KUHP
(1)  Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap;
1.    Akta-akta otentik;
(2)  Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak benar atau palsu seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pertama, dari fakta di atas bahwasanya Tergugat V.1 telah melakukan pemalsuan Surat Keterangan Waris dengan sepihak dan surat tersebut digunakan untuk kepentingannya sendiri guna menjaminkan Sertifikat Hak Milik No. 107 dan Sertifikat Hak Milik No. 200.
Kedua, bahwa Tergugat V.1 dengan sengaja memanfaatkan Surat Keterangan Waris itu untuk mengalihkan Sertifikat Hak Milik No. 107 dan Sertifikat Hak Milik No. 200 yang sebelumnya masih atas nama Alm. Ahmad Jajang menjadi atas namanya sendiri.
Ketiga, dari fakta di atas bahwasanya Tergugat V.1 dengan pemalsuan Surat Keterangan Waris dan Pemalsuan Sertifikat Atas Tanah juga memenuhi unsur “dapat menimbulkan kerugian”. Dengan pemalsuan kedua akta otentik tersebut maka Penggugat dan Tergugat V.2 dirugikan karena perbuatannya .












BAB IV
KESIMPULAN
1.    Kesimpulan pertama, bahwasanya Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) No. 578/1997  yang diterbitkan oleh Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung (Tergugat IV) tersebut  cacat hukum dan tidak sah dengan didasarkan adanya pertentangan dengan asas spesialitas dan Pasal 1320 tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Selain itu, penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan itu juga bertentangan dengan asas kepatutan.
2.    Kesimpulan kedua, bahwasanya Tergugat V.1 dikarenakan melakukan pembebanan hak tanggungan di atas tanah yang bukan miliknya, dalam hal ini tidak adanya kesepakatan sebelumnya dengan ahli waris, yaitu Penggugat dan Tergugat V.2. Maka Tergugat V.1 telah melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) sebagai konsekuensi yuridis dikarenakan perbuatannya. Tergugat V.1 telah memenuhi semua unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana dijabarkan di dalam Bab sebelumnya. Selain itu, Tergugat V.1 juga memenuhi semua unsur delik pada Pasal 264 ayat (2) KUHP, sehingga ia patut diduga dapat dipidana .





DAFTAR PUSTAKA
A.P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (U.U. No. 4 Tahun 1996/9 April 1996/L.N. No. 42) & Sejarah Terbentuknya, Medan: Mandar Maju, 1996
Indriatni Naning, “UUHT Menciptakan Unifikasi Hukum Tanah Nasional, Suara Pembaharuan, 31 Maret 1996
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada Media Group, 2008
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Sjahdeini Remy, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni, 1999
Sutedi Adrian, Hukum Hak Tanggungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010

Putusan :
Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 275/PDT.G/2002/PN.BDG dalam perkara antara Siti Wahyu Widayati sebagai Penggugat dan para Tergugat dalam perkara ini, yaitu Kantor Lelang Negara KL. I A Bandung, Indover Asia Limited Hongkong cq. Indover Bank Representative Office Indonesia, Dimas Putranto, Pemerintah RI cq. Kepala Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat cq. Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung, Arno Suwarno, Ato Suwanto, PT. Sinar Sakti Matra Nusantara .


[1]           Sjahdeini Rehmi, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung: Alumni, 1999, hlm. 1.
[2]           Sutedi Adrian, Hukum Hak Tanggungan, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm.225.
[3]           A.P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (U.U. No. 4 Tahun 1996/9 April 1996/L.N. No. 42) & Sejarah Terbentuknya, Medan: Mandar Maju, 1996, hlm. 35.
[4]           Sjahdeini Rehmi, op.cit., hlm, 11.
[5]           Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan, Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada Media Group, 2008, hlm. 15.
[6]           Ibid, hlm. 16.
[7]           Sutedi Adrian, op.cit., hlm. 53.
[8]           Ibid, hlm. 54.
[9]           Indriatni Naning, “UUHT Menciptakan Unifikasi Hukum Tanah Nasional, Suara Pembaharuan, 31 Maret 1996.
[10] Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.51-53
[11] Ibid, hlm. 79.
[12]          Lihat : Berdasarkan Putusan PN Bale Bandung dengan No. 111/Pdt.G/1998/PN.BB (telah berkekuatan hukum tetap) pada tanggal 22 Desember 1998, dinyatakan bahwa ahli waris dari Alm. Jajang adalah Siti Wahyu WIdayati, Arno Suwarno, dan Ato Suwanto dan 6 persil tanah di antaranya Sertifikat Hak Milik No. 107 dan Sertifikat Hak Milik No. 200.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar