Rabu, 05 Maret 2014

Unsur-Unsur Atau Elemen-Elemen Perbuatan Pidana


Resume dibuat oleh : Arjana Bagaskara Solichin

Tanggal : 6 Maret 2014

Selesai pada pukul : 13.54 WIB

Sumber Buku : Asas-asas hukum pidana, dibuat oleh Prof Moeljatno, S.H.


Unsur-Unsur Atau Elemen-Elemen Perbuatan Pidana (hal 64-70)
Setiap perbuatan pidana pada hakekatnya harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) yaitu :
a.       Kelakuan atau akibat, contoh : hal menjadi pejabat negara (pegawai negeri) yang diperlukan dalam delik-delik jabatan, dalam pasal 413 KUHP, 418 KUHP, 419 KUHP.
b.      Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan (Van Hamel membagi dalam dua golongan, yaitu 1. Mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, dan 2. Mengenai di luar diri si pelaku), contoh : pasal 160 KUHP, pengusutan harus dilakukan di tempat umum.
c.       Hak ikhwal tambahan tertentu (Bijkomende voorwaarden van strafbaarheidi), contoh : pasal 164, 165 KUHP bahwa ada kewajiban melapor kepada yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu tindak kejahatan. Pasal 331, tentang kewajiban memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut.
Mengenai hal ikhwal tambahan tertentu haruslah menjadi ‘perbuatan yang patut dipidana’ (strafwaardig) bukan ‘perbuatan yang dilarang’ (strafbaar feit) menurut van Hamel. Lain halnya menurut Simons, beliau menyatakan bahwa syarat tambahan tidaklah dapat dipandang sebagai elemen strafbaar feit yang sesungguhnya. Kemudian Prof. Moeljatno juga berpendapat bahwa syarat tambahan itu bukan sebagai elemen perbuatan pidana, melainkan sebagai syarat penuntutan.
Keadaan tambahan dapat juga untuk memberatkan ancaman pidana. Contoh : penganiayaan menurut pasal 351 ayat 1 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Tetapi jika perbuatan menimbulkan luka-luka berat, maka ancaman pidana diberatkan menjadi lima tahun, dan jika mengakibatkan mati menjadi tujuh tahun (Pasal 351 Ayat 2 dan 3).
d.      Sifat melawan hukum. Contoh : dalam merumuskan pemberontakan yang menurut pasal 108 antara lain adalah melawan pemerintah dengan senjata, tidak perlu diadakan unsur tersendiri yaitu kata-kata yang menunjukkan bahwa perbuatan  adalah bertentangan dengan hukum. Tanpa ditambahkan kata-kata lagi, perbuatan tersebut sudah wajar pantang dilakukan. Namun juga ada unsur-unsur yang perlu dijelaskan karena belum cukup jelas. Misalnya pasal 167 KUHP ‘melarang untuk memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau perkarangan tertutup yang dipakai orang lain, dengan melawan hukum. Rumusan memaksa masuk ke dalam rumah yang dipakai orang lain saja dipandang belum cukup untuk menyatakan kepantangan perbuatannya. Harus ditambah dengan unsur : secara melawan hukum.
e.       Unsur melawan hukum objektif (keadaan lahir). Misalnya, dalam pasal 167 KUHP, bahwa terdakwa tidak mempunyai wewenang untuk memaksa masuk, karena bukan pejabat kepolisian ataupun kejaksaan.
f.        Unsur melawan hukum subjektif (keadaan batin yang bersangkutan). Misalnya, dalam pasal 362 KUHP. Disini dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Sifat melawan hukum ini tidak terletak dalam hal-hal lahir, tetapi terletak pada niat orang yang mengambil barang tadi. Dalam terminologi bahasa Belanda, unsur melawan hukum subjektif ini disebut juga Onrechstelement.
Kesimpulan :
1.       Pertama, sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun bukan berarti perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum.
2.       Terakhir, meskipun perbuaatn pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga harus memperhatikan unsur-unsur subjektif atau sifat melawan hukum subjektifnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar