1. PENYELIDIKAN
Dasar hukum: Pasal 1 butir 5 KUHAP
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/penyelidikan untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
Dengan kata lain, penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan.
Terminologi:
“mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana”.
Artinya
Bahwa penyelidik berupaya atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana. Namun seringkali dalam kenyataannya penyelidik
baru melakukan penyelidikan apabila telah ada laporan terlebih dahulu dari
pihak yang dirugikan.
Mengenai laporan pengaduan diatur oleh Pasal 108 KUHAP yang
berbunyi:
1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan
atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk
mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tertulis.
2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau
terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau
penyidik.
3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan
tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak
pidana wajib segera melaporkan hal
tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
Pada ayat (1) diatas dirumuskan sebagai “hak”. Sebagai “hak” merupakan hal yang dapat dipergunakan
atau tidak digunakan. Sesungguhnya tidak tepat apabila dirumuskan sebagai “hak”
karena Pasal 27 UUD 1945 telah mewajibkan semua warga negara wajib menjunjung
tinggi hukum.
Pada ayat (2) Pasal 108 KUHAP telah diatur didalam pasal
164 KUHP.
Pada ayat (3) Pasal 108 KUHAP belum diatur pada hukum
pidana materiil atau peraturan perundang-undangan yang mengancam dengan sanksi
jika pegawai negeri tersebut lalai atau tidak mau melaksanakan kewajiban
tersebut sehingga saat ini masih ditemukan peristiwa yang merupakan tindak
pidana tidak dilaporkan kepada penyelidik/penyidik melainkan diselesaikan
sendiri dengan dalil “diselesaikan
secara kekeluargaan”.
Berdasarkan Pasal 4 KUHAP, ditentukan “penyelidik” adalah setiap pejabat polisi negara
Republik Indonesia (POLRI).
Selanjutnya tentang penyelidik diatur di dalam Pasal 5
KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan
berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan, dan penyitaan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan
pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b
kepada penyidik.
Jika Pasal 1 butir 5 KUHAP dikaitkan dengan Pasal 5 KUHAP, maka rumusan
Pasal 5 ayat (1a) KUHAP seolah-olah tidak tepat karena belum dirumuskannya “mencari dan menemukan”...
tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP.
Rumusan Pasal 5 ayat (1)a.4 merupakan hal yang berlebihan
yakni “menurut hukum yang
bertanggung jawab”. Rumusan tersebut tidak tepat karena “menurut hukum”
telah merupakan rumusan yang cukup dan tepat.
Pada penjelasan resmi Pasal 5 ayat (1)a.4 tercantum:
“Yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelididk untuk kepentingan
penyelidikan dengan syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan tindakan jabatan;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan tindakan jabatan;
c. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan
termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Atas pertimbangan yang laayk berdasarkan keadaan
memaksa;
e. Menghormati hak asasi manusia”.
Rumusan diatas merupakan hal yang tidak perlu
dipermasalahkan. Batasan wewenang penyelidik ini memang perlu karena:
a. Tujuan penyelidik adalah untuk menentukan dapat didakwa
suatu peristiwa dilakukan penyidikan atau suatu peristiwa diduga sebagai tindak
pidana;
b. Untuk membedakan “Penyelidik” dan “Penyidik”.
Tindakan hukum seperti penangkapan, penggeledahan,
penyitaan dan lain sebaginya yang tercantum pada Pasal 5 ayat (1)b memerlukan
“perintah penyidik”.
Perlu diperhatikan agar tidak terjadi kekeliruan
menafsirkan, seolah-olah “surat perintah penyidik” lebih dahulu terbit dari
“surat perintah penyelidikan”.
Dimaksud disini adalah bahwa berdasarkan hasil penyelidikan
maka diterbitkan “surat perintah penyidikan”.
Pasal 102 ayat (2) KUHAP mengatur “hal tertangkap tangan”
sebagai berikut:
“Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah
penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam
rangka penyelidikan sebagaimana tersebut diatur pada Pasal 5 ayat (1) huruf b”.
Penyelidik dalam pelaksanaan tugasnya perlu diperhatikan
Pasal 104 KUHAP yang berbunyi:
“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan wajib menunjukkan
tanda pengenalnya”.
Berdasarkan Pasal 104 KUHAP diatas, dihubungkan dengan
Pasal 4 KUHAP yang menyatakan:
“penyelidik adalah setiap polisi negara Republik
Indonesia”, maka tidak salah jika ditadsirkan bahwa melaksanakan tugas
penyelidikan, POLRI, tidak memerlukan surat perintah penyelidikan. Dalam hal
tugas tersebut telah dianggap cukup untuk menunjuk tanda pengenalnya.
Dengan rumusan Pasal 1 butir 5 dan Pasal 5 KUHAP, amak
penyelidik tersebut dimaksudkan, untuk lebih memastikan sesuatu peristiwa itu,
diduga keras sebagai tindak pidana. Akan tetapi, sebagian pakar berpendapat
bahwa penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk menemukan “bukti permulaan” dari
pelaku (dader). Pasal 5 KUHAP, tidak tercantum perkataan pelaku atau
tersangka. Oleh karena itu, sudah tepat jika “penyelidikan” tersebut
dimaksudkan untuk lebih memastiakn sesuatu peristiwa, diduga keras sebagai
tindak pidana.
2. PENYIDIKAN
Pada Pasal 1 butir 2 tercantum:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Berdasarkan rumusan diatas, tugas utama penyidik adalah
a. mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi;
b. menemukan tersangka.
Untuk tugas utama tersebut, penyidik diberi
kewenangan-kewenangan sebagaimana diatur oleh Pasal 7 KUHAP.
Pada Pasal 7 KUHAP, diberikan kewenangan-kewenangan
melaksanakan kewajibannya, yang bunyinya sebagai berikut:
1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a, karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang
adanya tindakan pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenal dari tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan;
e. Melakuan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret orang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan pengehentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
Penuntut Umum (sehari-hari dikenal dengan nama SPDP/Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan, sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP).
Pasal 109 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum”.
Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka
telah ditemukan, maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk
dilimpahkan kepada Penuntut Umum (Kejaksaan) atau ternyata bukan merupakan
tindak pidana.
Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan
merupaka tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum “Pemberhentian
penyidikan” ini diberitahukan kepada Penuntut Umum dan kepada
tersangka/keluarganya.
Atas “Pemberhentian penyidikan” tersebut, jika penuntut
umum atau pihak ketiga (lain) yang berkepentingan, dapat mengajukan “Praperadilan” kepada
Pengadilan Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan “penyidik” maka
penghentian penyidikan sah adanya tetapi jika Pengadilan Negeri tidak
sependapat maka “penyidikan” wajib dilanjutkan.
Pertanyaan yang timbul selanjutnya:
“bagaimana apabila putusan praperadilan untuk melanjutkan
penyidikan, tidak dilaksanakan oleh penyidik?”
Jawaban yang timbul:
“Bukankah setiap orang dapat menanyakannya dan penyidik
tersebut masih diawasi aparat atasannya?”
Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas
diserahkan kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (2) KUHAP).
Penyerahan ini dilakukan 2 tahap, yakni:
1. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas
perkara;
2.Dalam hal penyidik sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Jika pada tahap pertama, penuntut umum berpendapat bahwa
berkas kurang lengkap maka ia dapat:
1. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk
dilengkapi disertai petunjuk.
(Penuntut Umum menerbitkan P-18 dan P-19)
2. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan
tambahan
(Pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI).
Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu 14
hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyelidikan) maka
penyidikan dianggap selesai.
3. PENUNTUTAN
Penuntut Umum (dalam hal ini Kejaksaan/Kepala Kejaksaan
Negeri) setelah menerima berkas/hasil penyidikan dari penyidik, segera menunjuk
salah seorang jaksa (calon penuntut umum) untuk mempelajari dan menelitinya
yang kemudian hasil penelitiannya jaksa tersebut mengajukan saran kepada Kepala
Kejakasaan Negeri (KAJARI) antara lain:
1. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena
ternyata belum lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan penyidik.
Hal ini oleh Pasal 14 KUHAP disebut “prapenuntutan”;
2. Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas;
3. Hasil penyelidikan telah lengkap, tetapi
tidak terdapat bukti cukup atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana dan selanjutnya disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika saran
disetujui maka diterbitkan “surat ketetapan”. Atas “surat ketetapan” dapat
diajukan praperadilan.
4. Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini KAJARI menerbitkan penunjukan
Penuntut Umum. Penunjukan Penuntut Umum ini biasanya serentak dengan penunjukan
penuntut umum pengganti yang maksudnya jika penuntut umum berhalangan maka
penuntut umum pengganti yang bertugas (Pasal 198 KUHAP). Dalam hal ini penuntut
umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung kemudian dibuatkan
surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri.
Walaupun perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri,
masih memungkinkan bagi penuntut umum untuk mengubah surat dakwaan (Pasal 144
KUHAP).
4. PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara
dari penuntut umum (Kejaksaan Negeri), Ketua mempelajari apakah perkara itu
termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya (Pasal 147 KUHAP).
Jika Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara
pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, maka
diterbitkan “surat penetapan” yang memuat alasannya. Setelah “surat penetapan”
diterbitkan maka surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada
penuntut umum (Pasal 148 KUHAP). Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap
“surat penetapan” Pengadilan Negeri tersebut, maka ia dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah penetapan tersebut diterimanya dapat mengajukan
“perlawanan” kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan yang akan memutuskan
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima perlawanan itu
dalam bentuk surat penetapan (Pasal 149 KUHAP).
Jika Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara
pidana itu termasuk wewenangnya maka ia menunjuk hakim yang akan menyidangkan
yang selanjutnya akan menetapkan hari sidang seraya memerintahkan penuntut umum
supaya memanggil terdakwa dan saksi-saksi untuk datang di sidang pengadilan
(Pasal 152 KUHAP). Penuntut Umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa
saksi-saksi yang harus diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 3
(tiga) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 146 KUHAP).
Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan sidang
menanyakan “identitas” terdakwa. Kemudian meminta kepada penuntut umum
membacakan surat dakwaan. Setelah selesai dibacakan surat dakwaan, hakim ketua
sidang/majelis menanyakan kepada terdakwa apakah benar-benar mengerti tentang
dakwaan penuntut umum, jika perlu, atas permintaan hakim ketua sidang, penuntut
umum, menjelaskannya (Pasal 155 KUHAP).
Setelah selesai dibacakan (dijelaskan) surat dakwaan,
terdakwa/penasihat hukum dapat mengajukan “keberatan” (eksepsi) tentang:
1. Pengadilan negeri tersebut tidak berwenang
mengadili perkara terdakwa;
2. Dakwaan tidak dapat diterima;
3. Surat dakwaan harus dibatalkan.
Kemudian eksepsi tersebut, diberikan kesempatan kepada
penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya tentang “keberatan” (eksepsi)
tersebut.
Dalam hal “keberatan” (eksepsi) ini, hakim ketua sidang
memutuskan diterima atau tidaknya keberatan/eksepsi tersebut atau diputuskan
setelah selesai pemeriksaan persidangan.
Terhadap “eksepsi” yang diterima hakim penuntut umum dapat
mengajukan “perlawanan” kepada Pengadilan Tinggi yang dalam tenggag waktu 14
(empat belas) ahri setelah perlawanan diterima telah memutuskan dalam Surat
Penetapan. Jika eksepsi ditolak atau ditangguhkan putusannya setelah
pemeriksaan selesai, maka pemeriksaan di sidang pengadilan diteruskan (Pasal
156 KUHAP). Saksi dipanggil ke ruang sidang seorang demi seorang. Ada kalanya
Hakim Ketua sidang menyuruh masing-masing saksi yang akan didengar hari itu
memasuki ruang sidang dan secara bersama-sama saksi-saksi tersebut mengucap
sumpah, barulah kemudian saksi didengar satu per satu. Saksi yang tidak/belum
didengar pada saat tersebut menunggu di luar atau di suatu tempat dimana
seorang yang sedang memberi keterangan saksi, tidak dapat terdengar.
Hakim ketua sidang dan hakim anggota meminta keterangan
kepada saksi yang dipandang perlu untuk mendapat kebenaran. Kemudian diberi
kesempatan kepada Penuntut Umum dan penasihat hukum untuk mengajukan pertanyaan
kepada saksi dengan perantaraan hakim ketua sidang (Pasal 164 KUHAP). Setiap
kali seorang saksi selesai membawa keterangan, hakim ketua sidang menanyakan
kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan saksi tersebut.
Setelah persidangan selesai mendengar keterangan para
saksi, kemudian didengar keterangan ahli dan barang bukti berupa surat dan
barang atau ebnda diperlihatkan kepada terdakwa dan menanyakan apakah terdakwa
mengenalnya. Umumnya pemeriksaan terakhir adalah pemeriksaaan atas diri
terdakwa oleh ketua hakim sidang, hakim anggota, penuntut umum dan penasihat
hukum. Dengan selesainya pemeriksaan atas diri terdakwa maka pemeriksaan
persidangan dianggap selesai. Semua hasil pemeriksaan disidang oleh panitera
dibuat “berita acara sidang”.
Kemudian penuntut umum mengajukan “Tuntutan Pidana” (Requisitoir)
dan Penasihat Hukum/terdakwa mengajukan “Pembelaan” (Pledoi).
Selanjutnya Penuntut Umum mengajukan “jawaban atas pembelaan” (Replik)
dan “duplik” penasihat hukum. Semuanya diajukan secara tertulis (Pasal 182
KUHAP). Terdakwa dapat membacakan “pembelaannya” yang ditambah oleh penasihat
hukumnya. Setelah pihak terdakwa selesai mengajukan “pembelaan” (pembelaan
terakhir), hakim ketua sidang menyatakan pemeriksaan sekali lagi, baik atas
kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasan
(Pasal 182 ayat (2) KUHAP).
Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah dengan ketentuan:
1. Putusan diambil dengan suara terbanyak;
2. Jika tidak dapat dicapai putusan atas dasar suara
terbanyak maka pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa, yang
ditentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar