Rabu, 12 Februari 2014

Proses Perkara Acara Pidana (Singkat)


1.  PENYELIDIKAN
Dasar hukum: Pasal 1 butir 5 KUHAP
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Dengan kata lain, penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan.
Terminologi:
“mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”.
Artinya
Bahwa penyelidik berupaya atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Namun seringkali dalam kenyataannya penyelidik baru melakukan penyelidikan apabila telah ada laporan terlebih dahulu dari pihak yang dirugikan.

Mengenai laporan pengaduan diatur oleh Pasal 108 KUHAP yang berbunyi:
1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tertulis.
2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan  hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan  hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.

Pada ayat (1) diatas dirumuskan sebagai “hak”. Sebagai “hak” merupakan hal yang dapat dipergunakan atau tidak digunakan. Sesungguhnya tidak tepat apabila dirumuskan sebagai “hak” karena Pasal 27 UUD 1945 telah mewajibkan  semua warga negara wajib menjunjung tinggi hukum.
Pada ayat (2) Pasal 108 KUHAP telah diatur didalam pasal 164 KUHP.
Pada ayat (3) Pasal 108 KUHAP belum diatur pada hukum pidana materiil atau peraturan perundang-undangan yang mengancam dengan sanksi jika pegawai negeri tersebut lalai atau tidak mau melaksanakan kewajiban tersebut sehingga saat ini masih ditemukan peristiwa yang merupakan tindak pidana tidak dilaporkan kepada penyelidik/penyidik melainkan diselesaikan sendiri dengan dalil “diselesaikan secara kekeluargaan”.

Berdasarkan Pasal 4 KUHAP, ditentukan “penyelidik” adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia (POLRI).
Selanjutnya tentang penyelidik diatur di dalam Pasal 5 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan;
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
4. Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Jika Pasal 1 butir 5 KUHAP dikaitkan dengan Pasal 5 KUHAP, maka rumusan Pasal 5 ayat (1a) KUHAP seolah-olah tidak tepat karena belum dirumuskannya “mencari dan menemukan”... tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP.
Rumusan Pasal 5 ayat (1)a.4 merupakan hal yang berlebihan yakni “menurut hukum yang bertanggung jawab”. Rumusan tersebut tidak tepat karena “menurut hukum” telah merupakan rumusan yang cukup dan tepat.
Pada penjelasan resmi Pasal 5 ayat (1)a.4 tercantum:
“Yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelididk untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:
a.   Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan tindakan jabatan;
c.   Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d.   Atas pertimbangan yang laayk berdasarkan keadaan memaksa;
e.   Menghormati hak asasi manusia”.
Rumusan diatas merupakan hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Batasan wewenang penyelidik ini memang perlu karena:
a. Tujuan penyelidik adalah untuk menentukan dapat didakwa suatu peristiwa dilakukan penyidikan atau suatu peristiwa diduga sebagai tindak pidana;
b. Untuk membedakan “Penyelidik” dan “Penyidik”.

Tindakan hukum seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan lain sebaginya yang tercantum pada Pasal 5 ayat (1)b memerlukan “perintah penyidik”.
Perlu diperhatikan agar tidak terjadi kekeliruan menafsirkan, seolah-olah “surat perintah penyidik” lebih dahulu terbit dari “surat perintah penyelidikan”.
Dimaksud disini adalah bahwa berdasarkan hasil penyelidikan maka diterbitkan “surat perintah penyidikan”.
Pasal 102 ayat (2) KUHAP mengatur “hal tertangkap tangan” sebagai berikut:
“Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut diatur pada Pasal 5 ayat (1) huruf b”.
Penyelidik dalam pelaksanaan tugasnya perlu diperhatikan Pasal 104 KUHAP yang berbunyi:
“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan wajib menunjukkan tanda pengenalnya”.
Berdasarkan Pasal 104 KUHAP diatas, dihubungkan dengan Pasal 4 KUHAP yang menyatakan:
“penyelidik adalah setiap polisi negara Republik Indonesia”, maka tidak salah jika ditadsirkan bahwa melaksanakan tugas penyelidikan, POLRI, tidak memerlukan surat perintah penyelidikan. Dalam hal tugas tersebut telah dianggap cukup untuk menunjuk tanda pengenalnya.
Dengan rumusan Pasal 1 butir 5 dan Pasal 5 KUHAP, amak penyelidik tersebut dimaksudkan, untuk lebih memastikan sesuatu peristiwa itu, diduga keras sebagai tindak pidana. Akan tetapi, sebagian pakar berpendapat bahwa penyelidikan tersebut dimaksudkan untuk menemukan “bukti permulaan” dari pelaku (dader). Pasal 5 KUHAP, tidak tercantum perkataan pelaku atau tersangka. Oleh karena itu, sudah tepat jika “penyelidikan” tersebut dimaksudkan untuk lebih memastiakn sesuatu peristiwa, diduga keras sebagai tindak pidana.

2. PENYIDIKAN
Pada Pasal 1 butir 2 tercantum:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.
Berdasarkan rumusan diatas, tugas utama penyidik adalah
a. mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi;
b. menemukan tersangka.
Untuk tugas utama tersebut, penyidik diberi kewenangan-kewenangan sebagaimana diatur oleh Pasal 7 KUHAP.
Pada Pasal 7 KUHAP, diberikan kewenangan-kewenangan melaksanakan kewajibannya, yang bunyinya sebagai berikut:
1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a. Menerima laporan dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindakan pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
e.  Melakuan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.  Mengambil sidik jari dan memotret orang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.  Mengadakan pengehentian penyidikan;
j.  Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (sehari-hari dikenal dengan nama SPDP/Surat Perintah Dimulainya Penyidikan, sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP).
Pasal 109 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum”.
Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum (Kejaksaan) atau ternyata bukan merupakan tindak pidana.
Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupaka tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum “Pemberhentian penyidikan” ini diberitahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangka/keluarganya.
Atas “Pemberhentian penyidikan” tersebut, jika penuntut umum atau pihak ketiga (lain) yang berkepentingan, dapat  mengajukan “Praperadilan” kepada Pengadilan Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan “penyidik” maka penghentian penyidikan sah adanya tetapi jika Pengadilan Negeri tidak sependapat maka “penyidikan” wajib dilanjutkan.
Pertanyaan yang timbul selanjutnya:
“bagaimana apabila putusan praperadilan untuk melanjutkan penyidikan, tidak dilaksanakan oleh penyidik?”
Jawaban yang timbul:
“Bukankah setiap orang dapat menanyakannya dan penyidik tersebut masih diawasi aparat atasannya?”
Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas diserahkan kepada penuntut umum (Pasal 8 ayat (2) KUHAP).
Penyerahan ini dilakukan 2 tahap, yakni:
1. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
2.Dalam hal penyidik sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Jika pada tahap pertama, penuntut umum berpendapat bahwa berkas kurang lengkap maka ia dapat:
1. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk.
(Penuntut Umum menerbitkan P-18 dan P-19)
2. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan tambahan
(Pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI).
Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyelidikan) maka penyidikan dianggap selesai.

3. PENUNTUTAN
Penuntut Umum (dalam hal ini Kejaksaan/Kepala Kejaksaan Negeri) setelah menerima berkas/hasil penyidikan dari penyidik, segera menunjuk salah seorang jaksa (calon penuntut umum) untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya jaksa tersebut mengajukan saran kepada Kepala Kejakasaan Negeri (KAJARI) antara lain:
1. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena ternyata belum lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan penyidik. Hal ini oleh Pasal 14 KUHAP disebut “prapenuntutan”;
2. Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas;
3. Hasil penyelidikan telah lengkap, tetapi tidak terdapat bukti cukup atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika saran disetujui maka diterbitkan “surat ketetapan”. Atas “surat ketetapan” dapat diajukan praperadilan.
4. Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Dalam hal ini KAJARI menerbitkan penunjukan Penuntut Umum. Penunjukan Penuntut Umum ini biasanya serentak dengan penunjukan penuntut umum pengganti yang maksudnya jika penuntut umum berhalangan maka penuntut umum pengganti yang bertugas (Pasal 198 KUHAP). Dalam hal ini penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan rampung kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri.
Walaupun perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, masih memungkinkan bagi penuntut umum untuk mengubah surat dakwaan (Pasal 144 KUHAP).

4. PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum (Kejaksaan Negeri), Ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya (Pasal 147 KUHAP).
Jika Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, maka diterbitkan “surat penetapan” yang memuat alasannya. Setelah “surat penetapan” diterbitkan maka surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum (Pasal 148 KUHAP). Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap “surat penetapan” Pengadilan Negeri tersebut, maka ia dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah penetapan tersebut diterimanya dapat mengajukan “perlawanan” kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan yang akan memutuskan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima perlawanan itu dalam bentuk surat penetapan (Pasal 149 KUHAP).
Jika Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara pidana itu termasuk wewenangnya maka ia menunjuk hakim yang akan menyidangkan yang selanjutnya akan menetapkan hari sidang seraya memerintahkan penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi-saksi untuk datang di sidang pengadilan (Pasal 152 KUHAP). Penuntut Umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa saksi-saksi yang harus diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dimulai (Pasal 146 KUHAP).
Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan sidang menanyakan “identitas” terdakwa. Kemudian meminta kepada penuntut umum membacakan surat dakwaan. Setelah selesai dibacakan surat dakwaan, hakim ketua sidang/majelis menanyakan kepada terdakwa apakah benar-benar mengerti tentang dakwaan penuntut umum, jika perlu, atas permintaan hakim ketua sidang, penuntut umum, menjelaskannya (Pasal 155 KUHAP).
Setelah selesai dibacakan (dijelaskan) surat dakwaan, terdakwa/penasihat hukum dapat mengajukan “keberatan” (eksepsi) tentang:
1. Pengadilan negeri tersebut tidak berwenang mengadili perkara terdakwa;
2. Dakwaan tidak dapat diterima;
3. Surat dakwaan harus dibatalkan.
Kemudian eksepsi tersebut, diberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya tentang “keberatan” (eksepsi) tersebut.
Dalam hal “keberatan” (eksepsi) ini, hakim ketua sidang memutuskan diterima atau tidaknya keberatan/eksepsi tersebut atau diputuskan setelah selesai pemeriksaan persidangan.
Terhadap “eksepsi” yang diterima hakim penuntut umum dapat mengajukan “perlawanan” kepada Pengadilan Tinggi yang dalam tenggag waktu 14 (empat belas) ahri setelah perlawanan diterima telah memutuskan dalam Surat Penetapan. Jika eksepsi ditolak atau ditangguhkan putusannya setelah pemeriksaan selesai, maka pemeriksaan di sidang pengadilan diteruskan (Pasal 156 KUHAP). Saksi dipanggil ke ruang sidang seorang demi seorang. Ada kalanya Hakim Ketua sidang menyuruh masing-masing saksi yang akan didengar hari itu memasuki ruang sidang dan secara bersama-sama saksi-saksi tersebut mengucap sumpah, barulah kemudian saksi didengar satu per satu. Saksi yang tidak/belum didengar pada saat tersebut menunggu di luar atau di suatu tempat dimana seorang yang sedang memberi keterangan saksi, tidak dapat terdengar.
Hakim ketua sidang dan hakim anggota meminta keterangan kepada saksi yang dipandang perlu untuk mendapat kebenaran. Kemudian diberi kesempatan kepada Penuntut Umum dan penasihat hukum untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dengan perantaraan hakim ketua sidang (Pasal 164 KUHAP). Setiap kali seorang saksi selesai membawa keterangan, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan saksi tersebut.
Setelah persidangan selesai mendengar keterangan para saksi, kemudian didengar keterangan ahli dan barang bukti berupa surat dan barang atau ebnda diperlihatkan kepada terdakwa dan menanyakan apakah terdakwa mengenalnya. Umumnya pemeriksaan terakhir adalah pemeriksaaan atas diri terdakwa oleh ketua hakim sidang, hakim anggota, penuntut umum dan penasihat hukum. Dengan selesainya pemeriksaan atas diri terdakwa maka pemeriksaan persidangan dianggap selesai. Semua hasil pemeriksaan disidang oleh panitera dibuat “berita acara sidang”.
Kemudian penuntut umum mengajukan “Tuntutan Pidana” (Requisitoir) dan Penasihat Hukum/terdakwa mengajukan “Pembelaan” (Pledoi). Selanjutnya Penuntut Umum mengajukan “jawaban atas pembelaan” (Replik) dan “duplik” penasihat hukum. Semuanya diajukan secara tertulis (Pasal 182 KUHAP). Terdakwa dapat membacakan “pembelaannya” yang ditambah oleh penasihat hukumnya. Setelah pihak terdakwa selesai mengajukan “pembelaan” (pembelaan terakhir), hakim ketua sidang menyatakan pemeriksaan sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasan (Pasal 182 ayat (2) KUHAP). 
Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah dengan ketentuan:
1. Putusan diambil dengan suara terbanyak;
2. Jika tidak dapat dicapai putusan atas dasar suara terbanyak maka pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa, yang ditentukan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar