Sumber Buku :
HUKUM PIDANA
Komentar atas
Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Pengarang :
JAN REMMELINK
Judul :
Delik yang Bersifat
Menyakiti/Merugikan
(krenkingsdelicten)
dan
Delik yang Menimbulkan
Ancaman dan Keadaan Bahaya
(Gevaarzetinggsdelicten)
Hal 61-62
Tujuan perumusan suatu
tindak pidana (Strafbaar feit) oleh
pembentuk undang-undang adalah dalam rangka melindungi kepentingan hukum.
Sehingga pembentuk undang-undang perlu memfokuskan pada tindakan-tindakan yang
bersifat menyakiti (melanggar) kepentingan hukum tersebut.
Selain memfokuskan pada
tindakan-tindakan yang bersifat menyakiti, pembentuk undang-undang juga harus
melihat pada tindakan-tindakan yang memiliki unsur timbulnya keadaan bahaya.
Dilihat dari sudut
pandang (point of view) sejarah,
bentuk tindak pidana (Strafbaar feit)
yang paling tua adalah delik menyakiti atau merugikan (krenkingsdelicten), sementara itu delik yang menimbulkan bahaya (gevaarzetinggsdelicten) muncul
belakangan.
Perlu ditambahkan bahwa
perlindungan akan lebih efektif pada cara yang terakhir. Namun menurut hemat
saya bahwa pembentuk undang-undang harus berhati-hati dalam mempergunakan cara
ini. Perlindungan hukum yang diberikan kepada warga oleh pembentuk
undang-undang akan sangat efektif apabila juga dibarengi dengan adanya rumusan
tindak pidana yang tegas dan dapat mencegah (preventif) terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat menganggu
kepentingan itu sendiri walaupun dapat memunculkan risiko dan beban kepada
warga.
Rumusan mengenai
perbuatan (feit) yang dapat dipidana
yang kemudian akan dikonkretkan sebagai suatu tindak pidana (Strafbaar feit) perlu dilakukan di
bidang-bidang sosial lainnya. Perlu diaturnya dan ditundukkannya bidang-bidang
tersebut pada hukum pidana bukan tanpa dasar. Pidana yang memiliki tujuan
menegakkan tertib hukum perlu dinyatakan dalam bentuk pasal-pasal pidana yang
merupakan bagian dari penegakkan tertib hukum itu sendiri, termasuk di
bidang-bidang sosial lainnya. Misalnya, dalam bidang lalu lintas dan jalan
raya. Kita menemukan aturan hukum demikian di Belanda dan di dalam KUHPidana
Indonesia.
Sehingga perlu kita
bedakan antara tindak pidana yang terfokus pada sifat menyakiti – disini
kerugian harus lebih muncul sebelum hukum pidana memberikan reaksi, misalnya
dalam pembunuhan (Pasal 287 Sr., Pasal 338 KUHP, bdgk. Pasal 475 RKUHP)/1999-2000),
pencurian (Pasal 310 Sr., Pasal 362 KUHP, bdgk. Pasal 491 RKUHP/1999-2000),
penipuan (Pasal 326 Sr., Pasal 378 KUHP, bdgk. Pasal 491 RKUHP/1999-2000),
perusakan (Pasal 350 Sr., Pasal 406 KUHP, bdgk. Pasal 508 RKUHP/1999-2000) dan
tindak pidana yang difokuskan pada ancaman bahaya yang mungkin timbul dari
suatu delik. Yang terakhir ini dapat dikatakan melakukan upaya preventif, dalam
arti menunggu munculnya akibat perbuatan (kerugian), namun langsung bekerja
begitu ada ancaman terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi muncul,
misalnya dalam tindakan menghasut (Pasal 131 Sr., Pasal 160 KUHP, bdgk. Pasal
251 RKUHP/1999-2000), kejahatan yang menyebar sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 132 Sr. (Pasal 161 KUHP), dan Pasal 134 Sr. (Pasal 163 KUHP), penghujatan
Tuhan (Pasal 147 (1) Sr., bdgk Pasal 290 dst. RKUHP/1999-2000), banyak tindak
pidana pelanggaran (misalnya Pasal 5 UU Lalu Lintas dan Jalan Raya Belanda
1994) dan dalam percobaan (poging)
(Pasal 45 Sr., Pasal 53 KUHP, bdgk. Pasal 17 RKUHP/1999-2000 dan terakhir Pasal
46 Sr. Yang baru: persiapan untuk melakukan tindak pidana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar