Kamis, 27 Februari 2014

Delik yang Bersifat Menyakiti/Merugikan (krenkingsdelicten) dan Delik yang Menimbulkan Ancaman dan Keadaan Bahaya (Gevaarzetinggsdelicten)


Sumber Buku :
HUKUM PIDANA
Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Pengarang :
JAN REMMELINK
Judul :
Delik yang Bersifat Menyakiti/Merugikan
(krenkingsdelicten)
dan
Delik yang Menimbulkan Ancaman dan Keadaan Bahaya
(Gevaarzetinggsdelicten)
Hal 61-62
Tujuan perumusan suatu tindak pidana (Strafbaar feit) oleh pembentuk undang-undang adalah dalam rangka melindungi kepentingan hukum. Sehingga pembentuk undang-undang perlu memfokuskan pada tindakan-tindakan yang bersifat menyakiti (melanggar) kepentingan hukum tersebut.
Selain memfokuskan pada tindakan-tindakan yang bersifat menyakiti, pembentuk undang-undang juga harus melihat pada tindakan-tindakan yang memiliki unsur timbulnya keadaan bahaya.
Dilihat dari sudut pandang (point of view) sejarah, bentuk tindak pidana (Strafbaar feit) yang paling tua adalah delik menyakiti atau merugikan (krenkingsdelicten), sementara itu delik yang menimbulkan bahaya (gevaarzetinggsdelicten) muncul belakangan.
Perlu ditambahkan bahwa perlindungan akan lebih efektif pada cara yang terakhir. Namun menurut hemat saya bahwa pembentuk undang-undang harus berhati-hati dalam mempergunakan cara ini. Perlindungan hukum yang diberikan kepada warga oleh pembentuk undang-undang akan sangat efektif apabila juga dibarengi dengan adanya rumusan tindak pidana yang tegas dan dapat mencegah (preventif) terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat menganggu kepentingan itu sendiri walaupun dapat memunculkan risiko dan beban kepada warga.
Rumusan mengenai perbuatan (feit) yang dapat dipidana yang kemudian akan dikonkretkan sebagai suatu tindak pidana (Strafbaar feit) perlu dilakukan di bidang-bidang sosial lainnya. Perlu diaturnya dan ditundukkannya bidang-bidang tersebut pada hukum pidana bukan tanpa dasar. Pidana yang memiliki tujuan menegakkan tertib hukum perlu dinyatakan dalam bentuk pasal-pasal pidana yang merupakan bagian dari penegakkan tertib hukum itu sendiri, termasuk di bidang-bidang sosial lainnya. Misalnya, dalam bidang lalu lintas dan jalan raya. Kita menemukan aturan hukum demikian di Belanda dan di dalam KUHPidana Indonesia.
Sehingga perlu kita bedakan antara tindak pidana yang terfokus pada sifat menyakiti – disini kerugian harus lebih muncul sebelum hukum pidana memberikan reaksi, misalnya dalam pembunuhan (Pasal 287 Sr., Pasal 338 KUHP, bdgk. Pasal 475 RKUHP)/1999-2000), pencurian (Pasal 310 Sr., Pasal 362 KUHP, bdgk. Pasal 491 RKUHP/1999-2000), penipuan (Pasal 326 Sr., Pasal 378 KUHP, bdgk. Pasal 491 RKUHP/1999-2000), perusakan (Pasal 350 Sr., Pasal 406 KUHP, bdgk. Pasal 508 RKUHP/1999-2000) dan tindak pidana yang difokuskan pada ancaman bahaya yang mungkin timbul dari suatu delik. Yang terakhir ini dapat dikatakan melakukan upaya preventif, dalam arti menunggu munculnya akibat perbuatan (kerugian), namun langsung bekerja begitu ada ancaman terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi muncul, misalnya dalam tindakan menghasut (Pasal 131 Sr., Pasal 160 KUHP, bdgk. Pasal 251 RKUHP/1999-2000), kejahatan yang menyebar sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 132 Sr. (Pasal 161 KUHP), dan Pasal 134 Sr. (Pasal 163 KUHP), penghujatan Tuhan (Pasal 147 (1) Sr., bdgk Pasal 290 dst. RKUHP/1999-2000), banyak tindak pidana pelanggaran (misalnya Pasal 5 UU Lalu Lintas dan Jalan Raya Belanda 1994) dan dalam percobaan (poging) (Pasal 45 Sr., Pasal 53 KUHP, bdgk. Pasal 17 RKUHP/1999-2000 dan terakhir Pasal 46 Sr. Yang baru: persiapan untuk melakukan tindak pidana). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar