Jumat, 14 Februari 2014

Penjelasan Pasal 1 KUHP Menurut Para Ahli Hukum

Sumber Buku :
HUKUM PIDANA INDONESIA
Pengarang :
DRS. P. A. F. LAMINTANG, S.H.
C. DJISMAN SAMOSIR, S.H.

PASAL 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menentukannya.
A.      Penafsiran Hukum itu Haruslah Berdasarkan Undang-Undang
Penafsiran terhadap ketentuan yang telah dinyatakan dengan tegas tidaklah boleh menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang.
(H.R. 12 Nop. 1900, W.7525; 21 Jan. 1929 709. W. 11963)

Suatu pengertian atau perkataan di dalam undang-undang itu kadang-kadang dengan perkembangan zaman, berubah artinya atau maksud yang sebenarnya, sehingga terdapat perbuatan-perbuatan yang semula tidak termasuk ke dalam suatu pengertian, kemudian masuk ke dalamnya. Karena Hakim dapat memutuskannya dengan memperhatikan kesadaran yang hidup di dalam masyarakat mengenai pantas atau tidaknya suatu perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
(H.R. 21 Juni 1943, 1943 No. 559.)

B.      Perubahan Dalam Perundang-Undangan
“perubahan dalam perundang-undangan” itu tidak saja berarti di dalam rumusan hukum pidana, melainkan juga perubahan mengenai usia, yaitu misalnya dengan diajukan usia untuk disebut dewasa.
(H.R. 3 Des. 1906, W. 8468)

Hanyalah dapat dikatakan terdapat perubahan dalam perundang-undangan, jika hukum pidana itu sendiri dirubah mengenai norma atau ancaman hukumannya. Perubahan itu haruslah mempunyai arti sebagai perubahan pengertian dari pembentuk undang-undang mengenai dapat dihukumnya sesuatu perbuatan. Tidak dapat dikatakan terdapat perubahan dalam perundang-undangan jika karena keadaan khusus atau untuk jangka waktu tertentu, sesuatu ketentuan undang-undang untuk sementara tidak diberlakukan guna melaksanakan suatu ketentuan menurut undang-undang, yaitu misalnya perbuatan itu dilakukan.

C.      Ketentuan Yang Paling Menguntungka Tersangka
Hal dapat dihukumnya sesuatu perbuatan itu tergantung pada ketentuan undang-undang ketiak perbuatan tersebut dilakukan, apakah perbuatan tersebut merupakan yang dapat dihukum atau tidak. Pasal 1 ayat 2 KUHP memberikan pengecualian di dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan setelah sesuatu perbiatan itu dilakukan.
(H.R. 3 April 1916, N.J. 1916, 478; 26 Okt. 1940, 1941 No. 192)

Untuk menjawab ketentuan mana yang dianggap paling menentukan bagi tersangka, tidaklah diperkenankan untuk dicari secara umum, melainkan harus semata-mata pada peristiwa yang sedang dihadapi tersangka.
(H.R. 1 Maret 1926, N.J. 1926, 301, W. 11499)

Ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP itu berlaku jika sesuatu perkara sedang diadili oleh pengadilan yang lebih tinggi, kemudian diperlakukan ketentuan baru, yang menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang tidak dapat dihukum.
(H.R. 15 Nop. 1915, N.J. 1915, 125, w. 9879, 23 Pebr. 1920, N.J. 1920, 325, W. 10543, 19 April 1920, N.J. 1920, 558, W. 10573)
Seorang penguasa teritorial tidaklah berwenang untuk menetapkan, bahwa suatu peraturan yang telah dicabutnya, masih mempunyai kekuatanberlaku terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi. Ketentuan peralihan semacam ini adalah bertentangan dengan pasal 1 ayat (2) KUHP jo. Pasal 103 KUHP.
(H.R. 18 Des. 1916, N.J. 1917, 111, W. 10041)

Jika sesuatu peraturan itu telah diganti dengan suatu peraturan yang barun sehingga peraturan yang lama itu telah kehilangan kekuatan hukumnya untuk diperlakukan, sebelum perkara itu diadili, maka tersangka tidak dapat dihukum.
(H.R. 27 Okt. 1902, W. 7823)

Azas “Nulla Poena Sine Lege” atau “Geen Straf Zonder Schuld” Dan Larangan Untuk Mempergunakan Analogi Dalam Hukum Pidana

Pasal 1 ayat (1) KUHP memuat dua azas yang sangat penting, yaitu azas “nulla poena sine lege” yang berarti, bahwa tiada orang dapat dihukum tanpa kesalahan dan, bahwa kesalahan tersebut haruslah telah dicantumkan terlebih dahulu di dalam undang-undang sebagai suatu sikap atau perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, daripada terjadinya sikap atau perbuatan yang melanggar larangan undang-undang tersebut.

Azas kedua adalah larangan untuk mempergunakan penafsiran secara “analogis” di dalam lapangan hukum pidana. Azaz pertama di atas sangat penting untuk menjamin adanya kepastian hukum agar tidak terjadi apabila ada seseorang yang dihukum atas suatu perbuatan, padahal perbuatan yang dilakukannya tersebut merupakan perbuatan yang tidak dilarang dan diancam oleh undang-undang. Justru untuk menjamin kepastian hukum itulah, orang dilarang untuk mempergunakan penafsiran secara analogis di dalam lapangan hukum pidana.

Oleh karena di dalam lapangan hukum pidana, tidak ditentukan bahwasanya harus menggunakan penafsiran yang seperti apa, maka dari itu timbullah berbagai macam penafsiran di dalam lapangan hukum pidana dan di dalam yurisprudensi sehingga timbullah dua golongan yang bertentangan paham mengenai boleh atau tidak bolehnya “penafsiran secara analogis” itu.

Golongan yang menentang dipergunakan penafsiran secara analogis di dalam lapangan hukum pidana itu antara lain terdiri dari Profesor Mr. D. Simons, Profesor Mr. W. F. C.  van Hattum dan Mr. H. B. Vos dan di lain pihak yang dapat menyetujui dipergunakannya penafsiran secara analogis di dalam lapangan hukum pidana itu antara lain adalah Profesor Mr. W. P. J. Pompe dan Mr. J. E. Jonkers. Paham dari Prof Mr. D. Simons dan lain-lainnya disebut juga Paham Klasik sedangkan paham dari Mr. W. P. J. Pompe dan lainnya disebut juga Paham Modern. Ditinjau dari sejarah peradilan sendiri ternyata Hakim cenderung untuk menganuti paham modern seperti yang dapat dilihat dari arrest Hoge Raad 21 Juni 1943 No. 559.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar