HUKUM PIDANA INDONESIA
Pengarang :
DRS. P. A. F. LAMINTANG, S.H.
C. DJISMAN SAMOSIR, S.H.
PASAL 1 KUHP
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang
paling menentukannya.
A.
Penafsiran Hukum itu Haruslah Berdasarkan
Undang-Undang
Penafsiran terhadap ketentuan yang
telah dinyatakan dengan tegas tidaklah boleh menyimpang dari maksud pembentuk
undang-undang.
(H.R. 12 Nop. 1900, W.7525; 21 Jan. 1929 709. W. 11963)
Suatu pengertian atau perkataan di
dalam undang-undang itu kadang-kadang dengan perkembangan zaman, berubah
artinya atau maksud yang sebenarnya, sehingga terdapat perbuatan-perbuatan yang
semula tidak termasuk ke dalam suatu pengertian, kemudian masuk ke dalamnya.
Karena Hakim dapat memutuskannya dengan memperhatikan kesadaran yang hidup di
dalam masyarakat mengenai pantas atau tidaknya suatu perbuatan itu dipandang
sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
(H.R. 21 Juni 1943, 1943 No. 559.)
B.
Perubahan Dalam Perundang-Undangan
“perubahan dalam
perundang-undangan” itu tidak saja berarti di dalam rumusan hukum pidana,
melainkan juga perubahan mengenai usia, yaitu misalnya dengan diajukan usia
untuk disebut dewasa.
(H.R. 3 Des. 1906, W. 8468)
Hanyalah dapat dikatakan terdapat
perubahan dalam perundang-undangan, jika hukum pidana itu sendiri dirubah
mengenai norma atau ancaman hukumannya. Perubahan itu haruslah mempunyai arti
sebagai perubahan pengertian dari pembentuk undang-undang mengenai dapat
dihukumnya sesuatu perbuatan. Tidak dapat dikatakan terdapat perubahan dalam
perundang-undangan jika karena keadaan khusus atau untuk jangka waktu tertentu,
sesuatu ketentuan undang-undang untuk sementara tidak diberlakukan guna
melaksanakan suatu ketentuan menurut undang-undang, yaitu misalnya perbuatan
itu dilakukan.
C.
Ketentuan Yang Paling Menguntungka Tersangka
Hal dapat dihukumnya sesuatu
perbuatan itu tergantung pada ketentuan undang-undang ketiak perbuatan tersebut
dilakukan, apakah perbuatan tersebut merupakan yang dapat dihukum atau tidak.
Pasal 1 ayat 2 KUHP memberikan pengecualian
di dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan setelah sesuatu perbiatan itu
dilakukan.
(H.R. 3 April 1916, N.J. 1916, 478; 26 Okt. 1940, 1941 No. 192)
Untuk menjawab ketentuan mana yang
dianggap paling menentukan bagi tersangka, tidaklah diperkenankan untuk dicari
secara umum, melainkan harus semata-mata pada peristiwa yang sedang dihadapi
tersangka.
(H.R. 1 Maret 1926,
N.J. 1926, 301, W. 11499)
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP itu berlaku jika sesuatu
perkara sedang diadili oleh pengadilan yang lebih tinggi, kemudian diperlakukan
ketentuan baru, yang menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang tidak
dapat dihukum.
(H.R. 15 Nop. 1915,
N.J. 1915, 125, w. 9879, 23 Pebr. 1920, N.J. 1920, 325, W. 10543, 19 April
1920, N.J. 1920, 558, W. 10573)
Seorang penguasa teritorial tidaklah berwenang untuk
menetapkan, bahwa suatu peraturan yang telah dicabutnya, masih mempunyai
kekuatanberlaku terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi. Ketentuan
peralihan semacam ini adalah bertentangan dengan pasal 1 ayat (2) KUHP jo. Pasal
103 KUHP.
(H.R. 18 Des. 1916,
N.J. 1917, 111, W. 10041)
Jika sesuatu peraturan itu telah diganti dengan suatu
peraturan yang barun sehingga peraturan yang lama itu telah kehilangan kekuatan
hukumnya untuk diperlakukan, sebelum perkara itu diadili, maka tersangka tidak
dapat dihukum.
(H.R. 27 Okt. 1902,
W. 7823)
Azas “Nulla Poena
Sine Lege” atau “Geen Straf Zonder Schuld” Dan Larangan Untuk Mempergunakan
Analogi Dalam Hukum Pidana
Pasal 1 ayat (1) KUHP memuat dua azas yang sangat penting,
yaitu azas “nulla poena sine lege” yang berarti, bahwa tiada orang dapat
dihukum tanpa kesalahan dan, bahwa kesalahan tersebut haruslah telah
dicantumkan terlebih dahulu di dalam undang-undang sebagai suatu sikap atau
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, daripada
terjadinya sikap atau perbuatan yang melanggar larangan undang-undang tersebut.
Azas kedua adalah larangan untuk mempergunakan penafsiran
secara “analogis” di dalam lapangan hukum pidana. Azaz pertama di atas sangat
penting untuk menjamin adanya kepastian hukum agar tidak terjadi apabila ada
seseorang yang dihukum atas suatu perbuatan, padahal perbuatan yang
dilakukannya tersebut merupakan perbuatan yang tidak dilarang dan diancam oleh
undang-undang. Justru untuk menjamin kepastian hukum itulah, orang dilarang
untuk mempergunakan penafsiran secara analogis di dalam lapangan hukum pidana.
Oleh karena di dalam lapangan hukum pidana, tidak
ditentukan bahwasanya harus menggunakan penafsiran yang seperti apa, maka dari
itu timbullah berbagai macam penafsiran di dalam lapangan hukum pidana dan di
dalam yurisprudensi sehingga timbullah dua golongan yang bertentangan paham
mengenai boleh atau tidak bolehnya “penafsiran secara analogis” itu.
Golongan yang menentang dipergunakan penafsiran secara
analogis di dalam lapangan hukum pidana itu antara lain terdiri dari Profesor
Mr. D. Simons, Profesor Mr. W. F. C. van
Hattum dan Mr. H. B. Vos dan di lain pihak yang dapat menyetujui
dipergunakannya penafsiran secara analogis di dalam lapangan hukum pidana itu
antara lain adalah Profesor Mr. W. P. J. Pompe dan Mr. J. E. Jonkers. Paham
dari Prof Mr. D. Simons dan lain-lainnya disebut juga Paham Klasik sedangkan paham dari Mr. W. P. J. Pompe dan lainnya
disebut juga Paham Modern. Ditinjau
dari sejarah peradilan sendiri ternyata Hakim cenderung untuk menganuti paham
modern seperti yang dapat dilihat dari arrest Hoge Raad 21 Juni 1943 No. 559.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar