Kamis, 06 Maret 2014

CARA ATAU TEKNIK UNTUK MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA


Dirangkum oleh : Arjana Bagaskara Solichin

Hari, Tanggal : Kamis, 6 Februari 2014

Selesai pukul : 15.30 WIB

Cara Atau Teknik Untuk Merumuskan Perbuatan Pidana


Sumber : Asas-Asas Hukum Pidana, Prof. Moeljatno

Di dalam buku II KUHP tentang Kejahatan dan buku III KUHP tentang pelanggaran, banyak sekali rumusan-rumusan perbuatan beserta sanksinya yang dimaksud untuk menunjuk perbuatan-perbuatan yang dilarang dan pantang dilakukan.

Contoh 1 :
Tindak Pidana Pencurian (Pasal 362 KUHP), terdapat unsur – unsur pokok sbb :
1.       Mengambil barang orang lain ;
2.       Dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.

Ad. 1
Unsur pertama dari pasal ini menyatakan mengambil barang orang lain. Maksud dari frasa ini adalah bahwa tidak setiap perbuatan yang mengambil milik orang lain merupakan tindak pidana pencurian. Sebab ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan kepada pemiliknya.

Ad. 2
Untuk membedakan bahwa apa yang dilarang itu bukanlah setiap pengambilan barang orang lain, maka dalam pasal 362 KUHP, disamping unsur-unsur tadi, ditambah juga dengan elemen lain, yaitu : dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.

Contoh 2 :
Tindak Pidana Penadahan (heling), pasal 480 KUHP.

Pasal 480 KUHP yang dapat dirumuskan dengan unsur – unsur sbb :
Pasal 480 ke-1 : 1. Membeli, menyewa, menukar, menggadaikan, menerima sebagai hadiah, menjual untuk dapat untung, mengganti menerima sebagai gadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan barang ; 2. Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.

Dalam Pasal 480 ke-2 ini dapat dirumuskan sbb :
1.       Menarik untung dari hasil sesuatu barang  ;
2.       Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.

Ad.
Bahwa untuk beberapa pasal tidak serta merta dapat dikupas satu persatu, oleh karena apabila hal tersebut dilakukan maka akan menghilangkan esensi dari pasal tersebut. Sehingga pengertian umum yang dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik, sedangkan hal – hal yang menjadi batasan – batasan diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.

Contoh 3 :
Tindak Pidana Penganiayaan (Pasal 351 KUHP)

Mengenai penganiayaan, dalam teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi : menimbulkan nestapa (leed) pada orang lain.

Contoh 4 :
Tindak Pidana Perdagangan Wanita (vrouwenhandel)

Dalam tindak pidana ini, sampai pada saat ini belum diketemukan mengenai batasan – batasan pengertian dari perbuatan ini. Karena hanya ditemukan pengertian umum saja, maka cara merumuskan perbuatan pidana semacam ini adalah dengan hanya memberi kualifikasinya perbuatan saja.

Van Hattum (hal. 119 dst.) menulis bahwa menurut perkataan Memorie van Tpelichting (MvT) atau  pembahasan rancangan undang-undang, tidak ada keragu – raguan. Bahwa maksud pembentuk undang-undang mengadakan klasifikasi demikian adalah untuk menggampangkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja. Akan tetapi dalam praktik peradilannya terdapat tendensi atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi.

Selanjutnya, van Hattum juga mengatakan apabila pemberian arti tersendiri pada kualifikasi tersebut beralaskan atas alasan – alasan rasional, maka dapat memberi manfaat dalam penggunaan hukum pidana. Sebab pada hakikatnya penentuan unsur-unsur dalam rumusan delik hanya berlaku pada umumnya saja.

Dalam hal – hal khusus, pemberian arti tersendiri kepada kualifikasi beralaskan alasan – alasan rasional, maka dapat juga memberikan keuntungan dalam pemilahan unsur-unsur dalam suatu rumusan tindak pidana. Dapat dikatakan demikian dikarenakan pemberian arti tersendiri itu dapat mencegah pengenaan suatu delik pada perbuatan – perbuatan yang tidak dimaksudkan. Akan tetapi janganlah pengertian tersendiri ini digunakan secara phaenomenologis, yaitu meskipun perbuatan telah memenuhi unsur-unsur delik, tetapi tidak dapat dimasukkan dalam kualifikasi, dengan alasan bahwa perbuatan itu dem Wesem nach (menurut hakikatnya) memang tidak masuk dalam kualifikasi tersebut. Jadi tanpa diberi alasan rasional maka hanya ‘’perasaan saja’’.

Kemudian mengenai delik formal dan delik material. Sesungguhnya perbedaan dari kedua delik ini bukan mengenai sifat yang sesungguhnya, tetapi hanya mengenai sifat dalam perumusannya di masing – masing pasal saja. Dapat dikatakan delik formal jika yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Misalnya, dalam pasal 362 KUHP mengenal pencurian, yang penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam pasal itu kelakuan dirumuskan sebagai ‘’mengambil’’. Akibat dari pengambilan itu, misalnya dalam pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang penting dalam formulering dalam pencurian.

Lain halnya dengan delik material, dapat dikatakan delik material jika yang disebut atau menjadi pokok dalam formulering adalah akibatnya : oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Bagaimana cara mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting.

Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (Pasal 358 KUHP) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau  matinya orang yang dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat itu, tidak dianggap penting.

Selain pembedaan delik formal dan delik material, juga terdapat delik formal – material. Artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tetapi juga akibatnya. Contohnya adalah Pasal 378 KUHP (Penipuan).

Akibatnya, yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu, atau memberi utang maupun menghapuskan piutang, mengingatkan pada rumusan yang material. Meskipun demikian tidak setiap cara untuk menggerakkan hati orang yang ditipu, masuk dalam penegrtian penipuan menurut pasal di atas. Hanya kalau caranya menggerakkan hati itu, memakai nama palsu, martabat menurut pasal 378 KUHP. Di sini terang ada rumusan formal.

Pertanyaan :
Kalau memang hanya mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya diadakan perbedaan?

Jawaban :
1.       Ada konsekuensi dalam pembuktian.
2.       Berpengaruh kepada masyarakat, tentang apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan sanksi pidana dirumuskan secara formal atau material.

 Kesimpulan Penulis :
“bahwa dalam cara merumuskan suatu perbuatan pidana (strafbaar feit), tidak boleh hanya berpatokan pada pasal yang mengatur, tetapi juga harus mengetahui maksud dan tujuan serta hakekat (dem Wesem nach) dari pembentuk undang – undang pada saat dia merumuskan pasal itu. Namun apabila ditemukan pasal – pasal yang tidak dapat di pisahkan begitu saja unsur – unsurnya, maka kita tidak boleh secara semena – mena mengikuti perasaan kita saja, melainkan harus berpatokan dari teori yang ada dan praktiknya dalam peradilan. Mengenai delik formal dan material, perlu dibedakan bukan untuk secara terang dikotak – kotakkan, tetapi demi terpenuhinya rasa keadilan, baik bagi pelaku, korban, keluarga pelaku dan korban pada khususnya, maupun bagi masyarakat luas pada umumnya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar