Dirangkum oleh : Arjana Bagaskara Solichin
Hari, Tanggal : Kamis, 6 Februari 2014
Selesai pukul : 15.30 WIB
Cara Atau Teknik Untuk Merumuskan Perbuatan Pidana
Sumber : Asas-Asas Hukum Pidana,
Prof. Moeljatno
Di dalam buku II KUHP tentang
Kejahatan dan buku III KUHP tentang pelanggaran, banyak sekali rumusan-rumusan
perbuatan beserta sanksinya yang dimaksud untuk menunjuk perbuatan-perbuatan
yang dilarang dan pantang dilakukan.
Contoh 1 :
Tindak Pidana Pencurian (Pasal
362 KUHP), terdapat unsur – unsur pokok sbb :
1. Mengambil
barang orang lain ;
2. Dengan
maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.
Ad. 1
Unsur pertama dari pasal ini
menyatakan mengambil barang orang lain.
Maksud dari frasa ini adalah bahwa tidak setiap perbuatan yang mengambil milik
orang lain merupakan tindak pidana pencurian. Sebab ada orang yang mengambil
barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan kepada pemiliknya.
Ad. 2
Untuk membedakan bahwa apa yang
dilarang itu bukanlah setiap pengambilan barang orang lain, maka dalam pasal
362 KUHP, disamping unsur-unsur tadi, ditambah juga dengan elemen lain, yaitu : dengan maksud untuk dimilikinya secara
melawan hukum.
Contoh 2 :
Tindak Pidana Penadahan (heling), pasal 480 KUHP.
Pasal 480 KUHP yang dapat
dirumuskan dengan unsur – unsur sbb :
Pasal 480 ke-1 : 1. Membeli, menyewa,
menukar, menggadaikan, menerima sebagai hadiah, menjual untuk dapat untung,
mengganti menerima sebagai gadai, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan
barang ; 2. Yang diketahui atau sepatutnya harus
diduga berasal dari kejahatan.
Dalam Pasal 480 ke-2 ini dapat
dirumuskan sbb :
1. Menarik
untung dari hasil sesuatu barang ;
2. Yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga berasal dari kejahatan.
Ad.
Bahwa untuk beberapa pasal tidak
serta merta dapat dikupas satu persatu, oleh karena apabila hal tersebut
dilakukan maka akan menghilangkan esensi
dari pasal tersebut. Sehingga pengertian umum yang dari perbuatan yang dilarang
saja yang dicantumkan dalam rumusan delik, sedangkan hal – hal yang menjadi
batasan – batasan diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.
Contoh 3 :
Tindak Pidana Penganiayaan (Pasal
351 KUHP)
Mengenai penganiayaan, dalam
teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi : menimbulkan nestapa (leed) pada orang lain.
Contoh 4 :
Tindak Pidana Perdagangan Wanita
(vrouwenhandel)
Dalam tindak pidana ini, sampai
pada saat ini belum diketemukan mengenai batasan – batasan pengertian dari
perbuatan ini. Karena hanya ditemukan pengertian umum saja, maka cara
merumuskan perbuatan pidana semacam ini adalah dengan hanya memberi kualifikasinya perbuatan saja.
Van Hattum (hal. 119 dst.)
menulis bahwa menurut perkataan Memorie van Tpelichting (MvT) atau pembahasan rancangan undang-undang, tidak ada
keragu – raguan. Bahwa maksud pembentuk undang-undang mengadakan klasifikasi
demikian adalah untuk menggampangkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja.
Akan tetapi dalam praktik peradilannya terdapat tendensi atau gelagat untuk
memberi arti tersendiri kepada kualifikasi.
Selanjutnya, van Hattum juga
mengatakan apabila pemberian arti tersendiri pada kualifikasi tersebut
beralaskan atas alasan – alasan rasional, maka dapat memberi manfaat dalam
penggunaan hukum pidana. Sebab pada hakikatnya penentuan unsur-unsur dalam
rumusan delik hanya berlaku pada umumnya saja.
Dalam hal – hal khusus, pemberian
arti tersendiri kepada kualifikasi beralaskan alasan – alasan rasional, maka
dapat juga memberikan keuntungan dalam pemilahan unsur-unsur dalam suatu
rumusan tindak pidana. Dapat dikatakan demikian dikarenakan pemberian arti
tersendiri itu dapat mencegah pengenaan suatu delik pada perbuatan – perbuatan yang
tidak dimaksudkan. Akan tetapi janganlah pengertian tersendiri ini digunakan
secara phaenomenologis, yaitu
meskipun perbuatan telah memenuhi unsur-unsur delik, tetapi tidak dapat
dimasukkan dalam kualifikasi, dengan alasan bahwa perbuatan itu dem Wesem nach (menurut hakikatnya)
memang tidak masuk dalam kualifikasi tersebut. Jadi tanpa diberi alasan
rasional maka hanya ‘’perasaan saja’’.
Kemudian mengenai delik formal
dan delik material. Sesungguhnya perbedaan dari kedua delik ini bukan mengenai
sifat yang sesungguhnya, tetapi hanya mengenai sifat dalam perumusannya di masing – masing pasal saja. Dapat dikatakan
delik formal jika yang menjadi pokok dalam formulering
adalah kelakuannya. Misalnya, dalam pasal 362 KUHP mengenal pencurian, yang
penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam
pasal itu kelakuan dirumuskan sebagai ‘’mengambil’’. Akibat dari pengambilan
itu, misalnya dalam pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki
sehingga jatuh sakit, tidak dipandang penting dalam formulering dalam pencurian.
Lain halnya dengan delik
material, dapat dikatakan delik material jika yang disebut atau menjadi pokok
dalam formulering adalah akibatnya :
oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Bagaimana cara
mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting.
Biasanya yang dianggap delik
material adalah misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (Pasal
358 KUHP) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat
menderita sakit atau matinya orang yang
dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat itu, tidak
dianggap penting.
Selain pembedaan delik formal dan
delik material, juga terdapat delik formal
– material. Artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat
tetapi juga akibatnya. Contohnya adalah Pasal 378 KUHP (Penipuan).
Akibatnya, yaitu bahwa orang yang
ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang
menipu, atau memberi utang maupun menghapuskan piutang, mengingatkan pada
rumusan yang material. Meskipun demikian tidak setiap cara untuk menggerakkan
hati orang yang ditipu, masuk dalam penegrtian penipuan menurut pasal di atas. Hanya
kalau caranya menggerakkan hati itu, memakai nama palsu, martabat menurut pasal
378 KUHP. Di sini terang ada rumusan formal.
Pertanyaan :
Kalau memang hanya mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya
diadakan perbedaan?
Jawaban :
1. Ada konsekuensi
dalam pembuktian.
2. Berpengaruh
kepada masyarakat, tentang apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan
sanksi pidana dirumuskan secara formal atau material.
Kesimpulan Penulis :
“bahwa dalam cara merumuskan suatu perbuatan pidana (strafbaar feit), tidak boleh hanya
berpatokan pada pasal yang mengatur, tetapi juga harus mengetahui maksud dan tujuan
serta hakekat (dem Wesem nach) dari
pembentuk undang – undang pada saat dia merumuskan pasal itu. Namun apabila
ditemukan pasal – pasal yang tidak dapat di pisahkan begitu saja unsur –
unsurnya, maka kita tidak boleh secara semena – mena mengikuti perasaan kita saja,
melainkan harus berpatokan dari teori yang ada dan praktiknya dalam peradilan.
Mengenai delik formal dan material, perlu dibedakan bukan untuk secara terang
dikotak – kotakkan, tetapi demi terpenuhinya rasa keadilan, baik bagi pelaku,
korban, keluarga pelaku dan korban pada khususnya, maupun bagi masyarakat luas
pada umumnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar