Selasa, 25 Februari 2014

SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA (HIR )


SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA (HIR)
Sejarah HIR
Istilah HIR (Herziene Indonesisch Reglement), pada mulanya bernama “Indlandsch Reglement” (disingkat IR) yang berarti Reglemen Bumiputera. Perancang dari “IR” ini adalah seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Mr. H.L. Wichers, yang pada waktu itu adalah President dari Hooggerechtschof, yaitu Badan Pengadilan tertinggi di Indonesia pada zaman kolonial Belanda.
Denga surat keputusan Gubernur Jendral Rochussen, tertanggal 5 Desember 1846 No.3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang sebuah peraturan (reglement), tentang “administrasi, polisi dan proses perdata serta proses pidana” bagi golongan Bumiputera. Dalam waktu belum genap 1 (satu) tahun, Wichers berhasil mengajukan sebuah rencana aturan acara perdata dan acara pidana, yang terdiri atas 432 pasal. Pasal terakhir yaitu pasal 432, yang sekarang kita kenal sebagai pasal 393 H.I.R. Pada ayat (1) dimuat ketentuan yang berbunyi : “bahwa dalam hal mengadili perkara di muka Pengadilan bagi golongan Bumiputera itu, tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau lain daripada apa yang telah ditetapkan dengan Reglemen itu sendiri”. Sedangkan pada ayat (2) dimuat ketentuan yang berbunyi : “Hanya dalam hal-hal yang tidak diatur, Pengadilan boleh memakai peraturan-peraturan yang berlaku bagi golongan Eropah, jika peraturan yang demikian itu dianggap berguna untuk peradilan yang baik”.
Namun ketentuan dalam ayat (2) diatas ditolak oleh Gubernur Jenderal Rochussen, yang berpendapat bahwa Reglemen untuk acara Pengadilan bagi golongan bumiputera itu pada dasarnya harus lengkap, sehingga kemungkinan untuk memakai peraturan-peraturan yang berlaku bagi golongan Eropah itu adalah menyimpang dari asas tersebut.
Berhubungan dengan keberatan yang diajukan oleh Gubernur tersebut maka rancangan pada pasal 432 diubah, hingga menjadi yang sekarang kita kenal dimuat dalam pasal 393 H.I.R., yang berbunyi :
1)      Dalam hal mengadili perkara di muka Pengadilan bagi golongan Bumiputera tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau yang lain daripada apa yang telah ditetapkan dengan Reglemen ini ;
2)      Namun demikian, Gubernur Jendral berhak, apabila berdasarkan pengalaman ternyata bahwa hal yang demikian itu sangat diperlukan, setelah meminta pertimbangan Hooggerechtshof, untuk Pengadilan-Pengadilan di Jakarta, Semarang dan Surabaya dan lain-lain. Pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya, menetapkan lagi ketentuan-ketentuan lainnya yang lebih mirip dengan ketentuan-ketentuan hukum acara bagi Pengadilan-Pengadilan Eropah.
Supomo dalam bukunya “Hukum Acara Pengadilan Negeri”, Gubernur Jenderal Rochussen menganggap Reglemen Bumiputera yang telah ditetapkannya dengan Gouvernementsbesluit tanggal 5 April 1848 (Staatsblad No.16 tahun 1848) dan mulai berlaku pada 1 Mei 1848 itu, sebagai “suatu percobaan yang telah diperhitungkan dengan baik-baik”.
Praktik beracara menggunakan “I.R” (sekarang bernama H.I.R) sudah berjalan selama 160 tahun, hukum acara tertulis ini hanya sebagian saja dari keseluruhan peraturan hukum acara yang sekarang berlaku di Pengadilan Negeri kita (dulu Landraad), karena sebagian tidak sedikit telah berupa hukum acara yang telah diciptakan oleh yurisprudensi, intruksi-intruksi berbagai surat edaran dan peraturan Mahkamah Agung.
Masuka-masukan untuk mengkaji hukum acara perdata dalam I.R. (kemudian H.I.R), sebelum Perang Dunia ke-2 telah diuraikan oleh Mr. G. Wijers, kemudian oleh Prof. Mr. B. Ter Haar, gurubesar pada Rechtshogeschool di Jakarta, dalam karangannnya: “Welke eisen stelt toepassing van ongeschreven materieel privaatrecht aan organisatie en procesrecht der Inlandse rechtbanken” dan juga pada zaman kemerdekaan oleh Soetan Kali Malikoel Adil, Hakim Agung pada Mahkamah Agung, dalam karangannya: “Beberapa catatan tentang pembaharuan hukum formil kita”.
Dalam Staatsblaad 1941 No. 44 diadakan “pembaharuan” I.R. menjadi H.I.R. yang ternyata tidak membawa perubahan apapun pada hukum acara perdata di muka Pengadilan Negeri. Yang dinamakan  “pembaharuan” pada I.R. sebetulnya hanya terjadi pada hukum acara pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak terjadi perubahan.

Sumber :

“Prof. R. Subekti, S.H., Hukum Acara Perdata, Binacipta, 1977, hal 7-10”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar